Pages

Saturday, January 21, 2017

Day 4 KF Writing Challenge: Pertemuan Pertama dengan Dia

Sejujurnya, begitu membaca list tantangan #10daysKF writing challenge ini, saya agak galau sama poin nomor empat sebenarnya galau karena semua poin, sih. Si dia siapa, coba? Status saya single. Hati juga single, alias nggak lagi menggebet siapa-siapa. Kalau nulisnya tentang masa lalu lagi, nanti dikomentarin lagi seperti tantangan hari pertama. Padahal itu kriteria mengacu pada Ayahanda, please deh. Kalian itu yang nggak move on, gaes! *nyolot*

*

Akhirnya, setelah berpikir sekian lama kira-kira lima menit setelah memposting tulisan hari ketiga tadi, saya sudah memutuskan akan bercerita tentang siapa. Karena tidak boleh menyebutkan nama, maka yaa saya langsung saja bercerita. Walau rasanya, akan ada sangat banyak orang yang bisa menebak siapa "dia" yang saya ceritakan. Karena akan menjadi terlalu jelas. Tapi nggak papa. Biarkan tulisan ini sebagai salah satu cara untuk mengenangnya.

*

Saya anak pertama. Sampai sebelum 1 Desember 1995, saya terbiasa hidup sebagai anak tunggal. Begitu tahu akan ada "anak kecil" lain di rumah, perasaan saya waktu itu campur aduk. Senang. Menanti-nanti. 

Saya justru nggak terlalu ingat pertemuan pertama kami. Yang saya ingat adalah hari-hari setelahnya. Sepanjang yang dapat ingatan saya simpan, "awalnya" lumayan menyenangkan. Ada teman main. Pernah ada kejadian. Seingat saya, saya ingin main petak umpet. Dia yang duduk di baby walker, saya ajak ke kamar tidur orang tua. Kemudian, pintu kamar saya kunci. Kami masih ketawa-tawa. Saya senang sama permainan ini. Nggak lama, dia mulai merengek nangis. Saya coba buka kunci pintunya. Susah. Akhirnya orang tua saya membuat lubang di ventilasi, menjulurkan plastik yang diikat tali, meminta saya untuk memasukkan kunci kamar ke dalam plastik tersebut. Saya menurut. Pintu pun bisa terbuka. Saya kena marah, dia dapat pelukan.

Mungkin sejak saat itu saya mengenal kata cemburu.

*

Kehidupan kami sangat penuh drama. Kami bukan pasangan yang akur. Susah untuk meletakkan kami dalam satu ruangan yang sama tanpa ada setruman-setruman nyolot. Perkara siapa yang harus meletakkan piring di meja mana saja bisa bikin airmata berlinang. Atau masalah bebersih. Berhubung dia anaknya rapi dan saya kebalikannya. 

Ada banyak hal kecil yang bisa bikin saya sebal. Masalah klasik setiap anak perempuan: baju dan boneka. Boneka saya sering diklaim miliknya. Baju saya sering dipakai seenaknya. Kalau saya yang berlaku demikian, dia ngambek. Lah. Dunia seperti nggak adil saja.

*

Hidup kami nggak sepenuhnya hanya berbicara tentang sebal dan tangis amarah, kok. Kalau sedang akrab, yaa kami seperti pasangan lainnya. Saya pernah ajak dia lomba makan nasi cepet-cepetan, sampai meja makan belepotan. Tapi kami tertawa. Kami senang. Pernah juga saya ajak dia berkomplot agar saya punya alasan untuk mengganti popok adik kami yang masih bayi. Pernah juga dia berantem dengan teman sekolahnya, lantas si temannya itu saya teriaki habis-habisan sampai nangis dan saya merasa keren.

Setelah makin besar dan akhirnya sama-sama menjadi perantau, hubungan kami lumayan baik. Setruman-setruman amarah banyak berkurang, walau ketika sudah bersama orang tua perang lagi. Yaa mungkin itu cara kami untuk cari perhatian. Bisa makan enak bareng, nginep-nginepan, walau kami bukan tipe yang banyak bicara atau curhat mengenai masalah hati. Saya suka meminta pertolongannya untuk membungkus kado. Segala yang berhubungan dengan kerajian tangan dan kesenian, saya serahkan padanya. Bahkan, ketika tahun lalu saya sakit, dia pernah berinisiatif membuat kupu-kupu dari origami dan menempelkannya di dinding kosan saya. Itu manis, dan saya nggak bisa melakukan hal yang seperti itu—bahkan ketika dia sakit.

*

Tahun baru 2017 ini, dia sudah pergi. Duluan menghadap Tuhan. Ketika saya belum bisa mengekspresikan perasaan saya secara gamblang. Dan tak pernah ada lagi kesempatan untuk menyatakan bahwa dibalik semua drama yang kami jalani selama ini, saya sayang dia. Seperti kakak ke adik pada umumnya.

Iya, saya terlambat. Tak perlu ada alasan lain yang diungkapkan.

No comments: