Pages

Tuesday, December 31, 2013

Pertemuan di Stasiun Kenangan



Halo mas mantan, apa kbr? Ak lg di kotamu nih & sangatsangatsangat bth bantuan dr km. Segera! Kita ktmuan di stasiun jam 4 sore, ya!
–Bila–

Siang ini sangat damai, dimana sinar matahari tidak terasa begitu menyengat, angin berhembus lembut. Bahkan jalanan tidak dipenuhi oleh berbagai jenis kendaraan bermotor, membuat dunia serasa lebih sunyi dari biasanya dan udara terasa lebih bersih dari sebelumnya. Namun kedamaian di siang ini runtuh setelah sms itu tiba. Setelah membaca sms itu, dunia rasanya tiba-tiba di mute sehingga terasa benar-benar bisu, lebih bisu daripada yang mungkin dapat dirasakan.
Itulah yang sedang terjadi pada dunia gue yang damai. Lantas, apalagi yang harusnya terjadi ketika seorang mantan yang sama sekali nggak pernah terdengar kabarnya selama empat tahun, tiba-tiba menghubungi dan minta ketemuan? Walaupun dulu pisah dengan cara yang... nggak buruk, sih, tapi juga nggak bisa dibilang sebagai perpisahan yang baik. Ah... Kemunculan yang mendadak gini. Gue harus gimana?
Sms ini... Dilihat dari susunan katanya sih emang kata-kata Bila banget, karena pas jadian dulu, Bila pernah berkata seperti ini.
 “Jangan protes, ya. Panggilanmu sekarang ‘Mas Pacar’. Kalo kita nikah nanti, kamu naik pangkat jadi ‘Mas Suami’. Kalo kita putus, tapi ini amit-amit deh yaa, pangkat kamu turun jadi ‘Mas Mantan’. Okee, Mas Pacar?”
Kenpa, Bil? Kenapa harus muncul sekarang? Dan kenapa, kenapa harus ketemuan di stasiun? Buat ketemuan sama lo aja rasanya sulit, apalagi kalo harus ketemuan di tempat yang penuh kenangan seperti itu... Kenapa?
Baru kemudian gue sadar. Konyol. Ini benar-benar konyol. Usaha gue selama empat tahun runtuh seketika karena sms seperti ini. Kenapa, Bil? Ternyata kenangan itu bukannya menghilang dari hati gue, tapi cuma sembunyi. Dan tempat persembunyiannya terlalu rapuh, sehingga sedikit goncangan seperti ini bikin tempat persembunyian itu seketika runtuh, menampakkan kembali segalanya. Segalanya. Rasanya sangat berat...
Masih ada waktu dua jam lagi sebelum waktu yang udah lo tentuin buat kita ketemuan. Gue harus bagaimana, Bila?
*
Halo mas mantan, apa kbr? Ak lg di kotamu nih & sangatsangatsangat bth bantuan dr km. Segera! Kita ktmuan di stasiun jam 4 sore, ya!
–Bila–

Sudah terkirim. Akhirnya pesan itu terkirim juga, setelah selama seminggu ini hanya tersimpan sebagai draft. Ah... Aku menghela napas, berat dan dalam.
Mau bagaimana lagi? Cepat atau lambat, aku memang harus menghubungimu. Cepat atau lambat, kamu harus membantuku menjernihkan semua kebingungan yang kurasakan selama empat tahun silam. Demi kebaikanku. Bukan... Bukan hanya aku. Demi kebaikan kita, lebih tepatnya. Kuharap begitu.
Hanya ini. Hanya saat inilah satu-satunya kesempatan untuk kembali memperbaiki segalanya. Masa depan yang tak diharapkan itu masih dapat terelakkan. Kamu pasti paham, aku yakin kamu pasti mengerti. Dan juga... Mas Tirta yang kukenal pasti akan bisa menerima dengan hati yang lapang.
Aku tahu, saat kamu membaca pesan itu, hatimu pasti kembali terasa sakit. Aku juga tahu, kamu pasti akan sangat menyesali dan mengutuk diriku yang mengajak kita bertemu di stasiun. Bukan, Mas, ini semua bukan hanya untuk membangkitkan kenangan. Pertemuan ini memang harus terjadi di stasiun. Tempat dimana segalanya bermula. Tempat dimana pertemuan dan perpisahan dapat terjadi begitu saja. Tempat dimana bias semua perasaan menyatu. Stasiun kereta.
Setelah menegarkan hati dan pasrah atas apapun yang akan terjadi dua jam lagi, kuayunkan langkahku menuju Stasiun Semarang Tawang.
*
Kenangan Tirta, pertemuan lima tahun silam...

Bukan hal yang mudah buat gue tinggal kota ini. Malah sesungguhnya gue benci. Banget! Semuanya pergi. Semuanya ninggalin gue gitu aja, nggak peduli sama sekali dengan pendapat gue. Seakan gue nggak ada. Seakan gue sampah yang siap untuk dibuang.
Satu-satunya tempat yang bikin gue betah hanyalah tempat ini. Stasiun Semarang Tawang. Thanks banget kepada Polder Tawang yang telah dengan sempurna mencerminkan kemegahan bangunan tersebut dipermukaan airnya yang berkilauan, sehingga membuat pesona kecantikan arsitektur bangunan tersebut meningkat berkali-kali lipat di mata gue. Yang bisa bikin gue merasa nyaman, dan melupakan semua kemuakan yang mengungkung jiwa.
Setelah membeli tiket peron, gue langsung masuk dan mencari posisi yang pas untuk duduk. Iya, hanya duduk diantara orang-orang yang lalu lalang dengan segala berbagai ekspresi. Ada yang tersenyum bahagia, ada yang merengut sedih, ada yang berurai airmata. Ada yang menyambut kedatangan, ada yang melepas kepergian. Disini, segalanya terlihat wajar. Silakan berekspresi seperti apapun, semua orang akan memakluminya. Karena ini adalah stasiun kereta.
Kedamaian semacam ini yang selalu menarik gue untuk datang kesini. Lagi, lagi, dan lagi...
*
Stasiun Semarang Tawang. Satu setengah jam lebih awal daripada waktu yang dijanjikan. Sengaja, karena ini bukan pertemuan yang mudah buat gue. Semuanya butuh persiapan, terutama hati.
Setelah turun dari mobil yang sudah terparkir sempurna, sejenak... gue bingung harus menuju kemana. Segala sudut di stasiun ini benar-benar penuh kenangan. Ketika gue bilang segalanya, itu artinya benar-benar segalanya. Termasuk parkiran ini. Juga tempat membeli tiket. Juga tempat makan di dalam stasiun. Segala sudutnya adalah kenangan. Dan ini semua bikin gue frustasi. Karena semua kenangan itu yang bikin gue sebisa mungkin tidak menginjakkan kaki di stasiun ini selama empat tahun terakhir.
Setelah memejamkan mata sesaat, perlahan gue mengedarkan pandangan ke segala penjuru stasiun dari parkiran ini. Arsitektur bangunan salah satu stasiun kereta api tertua di Indonesia ini sukses membuat mata siapapun yang memandang terpukau oleh keindahannya. Di hadapannya langsung terdapat Polder Tawang yang tak kalah indahnya, yang airnya berkilau karena sinar matahari. Cantik. Sangat cantik. Secantik senyumannya.
Hhh... Baiklah. Persiapan hati ini akan dimulai dari sini.
*
Kenangan Bila, pertemuan lima tahun silam...

Aku pusiiiing!! Rasanya persiapan UAS kali ini bisa membunuhku. Guru-guru jaman sekarang makin kejam saja dalam memilih dan menyuguhkan soal untuk murid-muridnya.
Kalau sudah pusing seperti ini, tempat paling baik untuk melepaskan segalanya adalah... Iya! Tempat itu. Tempat dimana apapun ekspresi yang kamu tunjukkan adalah wajar.
Baru sampai di depannya saja, aku sudah merasa damai dengan suara khas yang terdengar beberapa saat sebelum diumumkannya jadwal kereta yang akan berangkat maupun yang akan memasuki stasiun. Aku sangaaat menyukai suara tersebut, seperti suara bel sekolah yang sering kudengar di film-film animasi Jepang. Menginjakkan kaki di tempat indah ini dengan seragam sekolah, aku merasa seperti siswi sekolahan di Jepang. Ah... Benar-benar perasaan menyenangkan yang membuat nyut-nyut di kepalaku hilang seketika.
Peron terlihat agak ramai hari ini. Bangku-bangku panjang tempat menunggu pun terlihat penuh dan padat. Aku menghela napas kecewa. Padahal aku ingin menghabiskan banyak waktu disini. Tidak mungkin kan, sepanjang waktu aku hanya berdiri saja di ujung gerbang?
Saat aku berkeliling sekali lagi, ah! Akhirnya ada bangku yang hanya diduduki oleh satu orang lelaki. Orang itu hanya duduk dengan tangan disilangkan di depan dada, kepalanya tertunduk, dapat dipastikan matanya terpejam. Hmm... Sedang menunggu kedatangan seseorang, kah?
“Permisi, ya...” Bisikku pelan. Yah... Setidaknya aku tetap ingin menjaga norma kesopanan agar orang itu tidak kaget, walau tidak kusuarakan keras-keras karena takut mengganggu. Saat duduk pun aku berusaha sepelan mungkin. Namun, orang itu tidak memberikan reaksi apapun. Pasti, lah. Kepada orang asing seperti ini, reaksi apa yang kuharapkan?
Aku mulai membuka-buka novel yang sengaja kubawa hari ini. Novel-novel yang tidak akan bisa kubaca di rumah di minggu UAS seperti ini. Ibu pasti akan menyitanya. Benar-benar, deh... Sepertinya Ibu masih menganggapku seperti anak SD yang tidak bisa berkonsentrasi penuh dalam pelajaran karena membaca buku selain buku pelajaran. Ibu selalu lupa bahwa sekarang aku sudah menjadi siswi kelas 2 SMA. Hufftt...
Stasiun kereta, novel, dan suara khas itu... Perpaduan yang sangat pas untuk bersantai. Dalam sekejap, segala hiruk-pikuk dunia seakan-akan tenggelam, dan akupun larut dalam kenyaman ini. Berbagai macam suara manusia di sekitar terdengar samar. Lebay, ya? Tapi benar, selalu itu yang kurasakan saat menghabiskan waktu disini.
“Uhuk... Uhuk...”
Aku menoleh. Orang yang duduk di sebelahku sedang menahan batuk. Bahunya terguncang. Semakin lama batuknya semakin hebat dan terlihat tak tertahankan, walau ia sudah mendekap mulutnya sendiri. Simpati, aku langsung mengulurkan air mineral yang sengaja kubeli sebelum duduk disini. Sepertinya orang itu sengaja tidak melihat ke arahku, atau memang keras kepala dan tidak ingin menerima bantuan dariku.
“Ini, Mas. Belum saya minum, kok. Biar nggak batuk lagi,” jelasku sabar. Kasihan juga karena orang itu tetap batuk-batuk. Namun sebenarnya agak geli, karena melihatnya tetap berusaha tidak mengacuhkanku. Dan lebih geli lagi karena pertahanannya akhirnya runtuh dan menerima air mineral dariku.
Thanks,” ucapnya datar, tak berapa lama setelah batuknya reda. Aku hanya bisa tersenyum geli karena orang itu kembali mengambil posisi tidur seperti sebelumnya.
Dan kali ini... Untuk pertama kalinya perhatianku buyar. Diam-diam, aku mengamati wajah orang itu. Bening – maksudnya tampan. Poninya tersibak ke depan karena wajahnya yang menunduk. Namun aku masih dapat melihat wajahnya. Wajah yang bening dan tenang. Aku jadi teringat peribahasa air tenang, menghanyutkan.
Orang itu bergerak, mengganti posisi duduknya, membuatku dengan gugup langsung mengalihkan pandangan pada novel yang kupegang. Diam-diam aku kecewa saat merasakan dirinya berdiri dari bangku yang kami duduki bersama. Yah... kebersamaan kami hanya sebatas itu. Nggak jodoh kali, ya.
Berhubung novel yang sedang kubaca ini tidak terlalu tebal, aku bisa menyelesaikannya dalam waktu kurang dari dua jam. Ternyata aku sangat betah duduk tanpa berpindah selama dua jam di bangku ini! Tapi...
Kryyuukkk...
Rupanya perutku yang tidak betah! Segera saja aku menuju salah satu tempat makan yang ada di dalam stasiun. Namun... Kejutan! Saat aku memasuki tempat makan itu, saat itu pula “Wajah yang Bening dan Tenang” bangkit dari kursinya dan berjalan keluar. Aku memasang senyum ramah, berharap semoga saja dia mengingat wajah orang yang memberikannya minum saat batuk tadi. Namun orang itu hanya berlalu begitu saja tanpa ekspresi, membuatku kembali kecewa. Sudahlah, Bila! Teriakku dalam hati. Langsung saja aku masuk dan mengalihkan pikiranku pada makanan enak di depan mata.
*
Jam delapan malam. Tapi gue sama sekali nggak punya keinginan buat pulang ke rumah. Bahkan bisa jadi kedatangan gue nggak diharapkan. Apapun itu, terserah mereka. Gue udah nggak peduli.
Jam segini, di malam tahun baru seperti ini, stasiun tetap terlihat rame dengan orang-orang yang menunggu. Menunggu kedatangan, menunggu keberangkatan.
Malam tahun baru? Cih. Nggak ada bedanya dengan malam-malam sebelumnya. Nggak akan ada bedanya tahun ini dengan tahun sebelumnya ataupun tahun yang akan datang. Bagi gue semuanya sama, dan akan selalu sama: terbuang.
“Permisi, ya...”
Cewek itu lagi. Masih dengan seragam SMA nya. Masih dengan senyum ramahnya yang tersungging lebar. Cewek yang tadi dengan baik hatinya nolongin gue yang tersiksa karena tenggorokan yang tiba-tiba terasa gatal. Gue Cuma mengedikkan kepala, tanpa sedikitpun berniat untuk bersikap ramah. Biarin aja.
Tapi... Kalo dipikir-pikir lagi, cewek ini aneh. Udah jam segini, dan dia masih betah di stasiun?
Gue lirik dia yang lagi asyik membaca. Kayaknya itu buku yang berbeda dengan buku yang tadi sore gue liat di pangkuannya. Dia bisa menamatkan satu buah novel dan lanjut membaca novel lainnya dalam keadaan rame suara manusia seperti ini? Hebaaat...
Pengeras suara di stasiun membunyikan suara khasnya, dan gue otomatis mengamati suasana di sekitar peron. Ketika para penjemput berkumpul dengan wajah harap-harap cemas, wajah bahagia karena sebentar lagi akan bertemu dengan siapapun yang keluar dari gerbong kereta yang tiba. Gue senang melihat orang-orang yang mengekspresikan perasaan menyambut dengan sukacita itu.
Pandangan gue jatuh kepada orang yang duduk di sebelah gue, yang telah menutup bukunya dan mengadahkan kepalanya ke atas dengan mata terpejam. Rambut panjangnya tersibak ke belakang, membuat wajah manisnya terlihat jelas. Sebentuk senyum indah juga menghiasi wajahnya, bentuk senyum yang bikin gue ingin ikutan senyum. Bentuk senyum yang memberikan perasaan nyaman, seperti stasiun kereta ini.
Untuk beberapa saat, gue terpana pada orang asing.
Begitu suara bel tersebut berakhir, mata cewek itu terbuka, dengan senyum yang semakin mengembang. Tangan mungilnya merapikan rambut untuk dikucir kuda. Kikuk, gue langsung mengedarkan pandangan ke arah lain.
Setelahnya, bangku tempat kami duduk hanya diisi kesunyian. Cewek itu asyik dengan novelnya, dan gue asyik melihat pemandangan di stasiun yang sama sekali tidak pernah membosankan.
“Mmm... Permisi, Mas...” sapa cewek itu pelan. Gue kaget, dan lantas menoleh. “Itu... tali tas saya...”
“Oh, iya. Sori, sori,” gue langsung bergeser supaya dia bisa mengangkat tasnya. Cewek itu – lagi-lagi – tersenyum seraya mengucapkan terima kasih. Kali ini, kalo gue nggak membalas ucapannya, sepertinya gue bakal dicap nggak sopan.
“Sama-sama.”
Cewek itu memasukkan novelnya ke dalam tas. Mau pulang, kah? Atau udah selesai dibaca? Wah.... Kalo emang udah selesai dibaca, berarti cewek itu punya kecepatan membaca yang nggak bisa diremehkan.
“Masnya lagi nungguin orang, ya?”
Eh? Dia ngajak gue ngobrol? Gue noleh – lagi. Dan ternyata dia hanya memasukkan novelnya ke dalam tas, kemudian duduk menghadap gue dengan santai. Gue Cuma menggeleng sopan.
“Oh... Kirain. Soalnya saya udah ngeliat Masnya daritadi sore, sih.”
“Kamu sendiri gimana?” Akhirnya gue nggak tahan untuk ikut bertanya balik. “Kamu juga dari tadi sore disini terus.”
Cewek itu tertawa geli, jelas bikin gue heran. “Kirain Masnya nggak ngeh. Hihihihi...”
Begitulah. Basa-basi kecil ini bikin gue dan dia ngobrol gitu aja. Ngalir gitu aja.
*
Siapa yang menyangka ternyata aku dan Tirta – nama orang itu – bisa mengobrol segini santainya? Hingga tak terasa sudah jam sebelas malam. Aku tidak ingin pulang, dan aku memang sedang ingin menghabiskan malam di luar. Maaf ya, Bu, Bila sudah berbohong dan berkata akan merayakan tahun baru bersama teman-teman.
Eh, ralat deh, Bu. Bila tidak berbohong, kok. Bila sepertinya memang akan merayakan tahun baru, bersama seorang teman baru. Teman dengan “Wajah yang Bening dan Tenang” bernama Tirta. Maaf ya, Bu... Tapi, kesempatan seperti ini memang sangat langka.
Tentu saja. Siapa yang menyangka bahwa ada orang selain diriku yang hobi menghabiskan waktu di stasiun tanpa batas waktu seperti itu, seperti diriku? Bahkan teman-temanku saja langsung bosan saat aku menceritakan hal ini pada mereka. Ketika akhirnya aku menemukan orang yang memiliki hobi yang sama denganku, orangnya asyik pula, bagaimana mungkin aku tinggalkan begitu saja?
Saat ini, setengah jam sebelum pergantian tahun, aku dan Tirta sedang berjalan menyusuri Polder Tawang. Walau Tirta tidak banyak berbicara, tapi aku tahu kalau dia asyik. Karena setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu menarik. Karena dia tidak merasa terganggu dengan kecerewetanku. Karena dia selalu menanggapi ceritaku dengan ekspresi yang pas. Ah... Ternyata “air” yang satu ini bisa menampakkan riakya juga.
“Limabelas menit lagi tahun baruuuu!” Pekikku girang. Tirta hanya diam dan memandang stasiun di depan kami.
“Kamu nggak suka tahun baru?” Tebakku, asal saja.
“Nggak,” jawabnya mantap. “Semua tahun sama aja.”
“Nggak,” bantahku, tak kalah mantapnya. “Tahun ini bisa jadi beda.”
“Kok?”
“Berapa banyak orang yang punya hobi seperti kita ini, sih?” ujarku dengan antusiasme yang tak dapat disembunyikan. “Langka lho, langka!”
Entah dia dapat mengerti maksudku atau tidak, namun... Sepertinya Tirta paham. Apapun yang membuatnya memiliki hobi seperti ini, apapun yang membuatnya memasang wajah tanpa ekspresi, serta apapun yang membuatnya tidak bersemangat seperti itu... Rasanya ingin kuhapuskan itu semua. Aneh memang, mengingat ini adalah pertemuan pertama kami.
Tetap saja, hati mana pernah berdusta sih, untuk hal-hal yang seperti ini?
Kembang api membuncah dari segala penjuru, menerangi langit Kota Lama Semarang dengan indahnya. Riuh rendah masyarakat yang menyambut tahun baru terdengar menyenangkan. Dan aku... juga ikut terhanyut dalam euforia tersebut.
“Selamat tahun baru, Mas Tirtaaaa!”
*
Sudah kutebak kamu akan datang lebih cepat daripada waktu yang dijanjikan. Benar, kan? Aku terlalu pandai membaca kamu. Dulu, dan sekarang. Dan ini... membuatku merasa lebih berdosa padamu.
Kamu saat ini duduk di bangku yang sama dengan yang kita duduki lima tahun silam. Juga bangku yang sama yang kita duduki saat kamu resmi menjadi “Mas Pacar”ku.
Menatapmu dari belakang seperti ini, siluetmu itu... Ah. Wahai pemilik “Wajah yang Bening dan Tenang” yang kucintai, bagaimana kabarmu sebenarnya? Bagaimana kabarmu setelah perpisahan kita empat tahun silam?
*
Sebagai cowok, gue sadar kalo gue terlalu rapuh. Terlalu membiarkan diri gue dikuasai oleh perasaan-perasaan lemah seperti ini. Mau gimana lagi? Lo pernah bikin gue berani bangkit menatap hidup. Lo pernah – untuk pertama kalinya dalam hiup gue – bikin gue merasa dibutuhkan, merasa disayang. Lo pernah memberikan semua yang gue harapkan diberikan oleh lingkungan gue. Dan ternyata lo pergi tanpa ngasih gue kesempatan untuk menahan lo, tanpa ngasih gue kesempatan untuk melakukan apapun.
Kemudian lo balik lagi setelah semuanya? Setelah kepergian lo empat tahun silam? Lo pikir semuanya masuk akal? Semua kata-kata yang lo ucapin di bangku ini, Bila...
*
Kenangan Bila, perpisahan empat tahun silam...

“Bilang kalo saat ini kamu lagi bercanda, Bil.”
Nggak sanggup... Aku benar-benar tidak sanggup mendengar suaramu yang seperti ini. Yang bergetar menahan emosi. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku yang tertunduk, menghindari menatap wajahmu.
Kamu meninju tembok terdekat dengan sekuat tenaga. Aku tahu, sakitnya pasti tidak sesakit hatimu saat ini.
“Dan apa alasan kamu? Coba bilang sekali lagi apa alasan kamu?”
“Bila... Cuma nggak mau Mas Tirta terluka –“
“EMANGNYA KALO DITINGGALIN BEGINI GUE NGGAK BAKAL LUKA, BIL?! Enggak bakal?!”
“Setidaknya sakitnya hanya untuk saat ini, Mas!” Aku memekik frustasi karena teriakannya yang sarat emosi. “Keputusan ini juga berat buat aku, tolong ngertiin aku. Tolong...”
Dia tersungkur. Lelaki yang telah menahan berbagai macam emosi di dadanya itu terduduk lemas. Luruh disana. Dan aku hanya bisa tergugu menatapnya.
“Trus menurut lo...” katanya pelan, dengan suara yang tidak bertenaga, “ngajak gue ketemuan hari ini, dengan membawa koper besar, ngasih tau kalo... lo bakal pergi jauh, dan kita harus putus... Ngasih tau semuanya beruntun dalam sekali waktu... Menurut lo ini nggak berat buat gue? Bila, please...
Aku berusaha merangkulnya sebagai permintaan maaf, namun langsung ditepis olehnya.
“Justru karena itulah Bila melakukan ini semua, Mas... Suatu saat Mas akan mengerti. Sakitnya hanya saat ini, dan Mas Tirta pasti kuat. Bila percaya itu, Mas...”
Lelaki itu menatap mataku dalam-dalam. Telaga bening mata itu, kini terlihat kosong. Aku tahu apa yang ia teriakkan dari tatapan itu. Sebagai satu-satunya orang yang selalu mendampinginya selama setahun terakhir ini, aku lebih dari sekedar paham.
“Maafin Bila, Mas...”
*
Stasiun Kereta Tawang, 31 Desember 2013, 16.00 WIB.

Seseorang mengambil tempat duduk di sampingnya dengan lembut. Mulanya Tirta membiarkan saja orang itu, namun lama-lama ia jengah karena merasa diperhatikan. Serta merta Tirta menoleh dan mendapati bahwa orang yang duduk di sampingnya adalah...
“Bila?”
Mustahil bagi Tirta untuk merupakan wajah manis dengan senyuman yang berkilau indah seperti danau yang memantulkan sinar matahari. Pemilik wajah manis itu telah tumbuh menjadi seorang wanita yang tak kehilangan sedikitpun sentuhan keceriaannya di masa lampau, persis seperti apa yang masih tersisa dari ingatan Tirta.
“Halo, Mas Mantan.”
Bahkan suaranya... Suaranya masih terdengar renyah dan ramah. Suara yang membuat Tirta selalu merasa nyaman. Selalu merasa bahagia. Selalu merasa dibutuhkan dan disayang. Suara yang telah hilang selama empat tahun kini kembali lagi di hadapannya!
Tirta tidak pernah menduga bahwa dirinya akan semudah ini terpana kembali menghadapi Bila, wanita yang telah memberinya banyak luka dalam sekali waktu. Wanita yang meninggalkannya tanpa penjelasan yang pasti, yang tak ada cara lain baginya selain menerima keputusan mereka berpisah seperti itu.
Sedangkan Bila... Kalau saja saat ini Tirta tahu, hati gadis itu sedang sangat membuncah oleh kebahagiaan karena dapat melihat “Wajah yang Bening dan Tenang” milik Tirta. Si air tenang, menghanyutkan. Yang telah ia tinggalkan begitu saja di masa lampau.
“Apa kabar, Mas?” ujarnya, memulai dengan hal-hal ringan. Karena di masa lalu, seringkali perbincangan mereka dimulai dengan topik yang ringan sebelum kemudian mengalir begitu saja. Tirta hanya diam.
“Maafin Bila ya, Mas, karena baru bisa hadir saat ini. Tapi, Bila juga mau mengucapkan terima kasih karena Mas mau hadir. Bila sempat khawatir, Mas nggak bales sms dari Bila. Tapi ternyata, Mas ada disini... Duduk disini...”
Gadis itu mendekap  mulutnya sendiri untuk meredam tangis yang rasanya menyesakkan. Nggak, Bil. Belum saatnya.
“Mas... Kok diam?” tanyanya lagi, karena hanya menghadapi kebisuan dari lelaki yang duduk di sampingnya. Sesaat kemudian, ia paham. Luka yang ia berikan empat tahun yang lalu telah menancap sangat dalam. Saking dalamnya, luka itu sanggup membungkam segala luapan amarah dan sakit hati.
Namun justru, keterdiaman itu sendiri merupakan refleksi hati yang paling menyakitkan yang dapat diperlihatkan.
Bila hanya bisa menghela napas, berat dan dalam.
“Makasih ya, Mas... Karena tetap memilih bangku ini. Bangku yang menjadi saksi semua yang pernah terjadi di antara –“
“Kamu,” Tiba-tiba saja Tirta bersuara, memotong kalimat mantan kekasihnya. “mau saya ngebantuin kamu apa?”
Lagi, Bila menghela napas berat. Pertanyaan yang langsung ke poinnya seperti ini bukannya tidak pernah terpikirkan olehnya akan langsung ia dapatkan begitu mereka bertemu. Hanya saja, keterdiaman Tirta di awal membuatnya seketika bingung harus mengatakan apa.
Tia-tiba saja suara khas stasiun kereta itu terdengar. Suara bel sekolah yang sering mereka dengar di film animasi Jepang. Suara itu... Membuat keduanya terhipnotis. Suara itu membekukan mereka kedalam kenangannya masing-masing. Dan didengarkannya suara itu dengan penuh penghayatan.
“Nggak pernah, Mas, nggak pernah...” Bila memulai kalimatnya, “nggak pernah sekalipun Bila berhenti menyesal karena telah menorehkan luka di hati Mas Tirta. Saat itu, walaupun Bila sangat memahami Mas Tirta, tapi Bila juga harus memenuhi tanggung jawab Bila sebagai seorang anak. Bila pergi tanpa sebelumnya mendiskusikan dengan Mas Tirta, semuanya demi kebaikan Mas sendiri. Apapun... Bila tau, apapun yang Bila katakan sekarang hanya akan terdengar sebagai alasan-alasan tanpa makna.”
Tirta masih tetap diam dengan kepala menunduk dan mata terpejam. Sulit untuk melihat riak hatinya saat ini.
“Bila... lusa akan dilamar.”
Akhirnya Bila mengatakannya. Seiring dengan keluarnya pengakuan tersebut, dibiarkannya tangisnya sendiri pecah. Sedangkan Tirta... Ia bingung. Sangat bingung dengan pengakuan mendadak ini. Dan hatinya semakin ambigu saja.
“Sebelum menerima lamaran itu... Ah, maafin Bila, Mas...”
Tirta akhirnya angkat suara dengan nada yang sangat dingin. “Masih belum cukup, Bil? Berapa banyak luka lagi yang mau kamu torehkan?”
Bukan itu maksud Bila, Mas! Ingin rasanya ia meneriakkan hal tersebut, namun mati-matian ditahannya. Cukup satu orang saja yang menunjukkan emosinya ke permukaan pada hari ini. Cukup satu orang saja, dan yang paling berhak untuk mengekspresikan hatinya. Hanya Tirta.
“Bila hanya ingin mengonfirmasi ini...” gadis itu menggenggam lembut tangan lawan bicaranya, perlahan menuntun tangan tersebut ke tempat dimana segala rasa membuncah. Tirta menatapnya dalam-dalam, menuntut penjelasan lebih.
“Bila tau, Mas... Bila banyak sekali menorehkan luka. Bila tau kalau Bila sangat egois, apalagi saat ini. Bila sangat egois karena setelah semuanya, Bila masih tetap ingin mengetahui bagaimana hati Mas Tirta sebenarnya setelah empat tahun berlalu. Maafin Bila, Mas...”
Sudah. Cukup. Semuanya sudah diluar batas. Tirta menepis tangan mungil itu dengan kasar, dan bangkit. Ia ingin segera meninggalkan tempat itu, meninggalkan Bila.
*
Polder Tawang, 23.00 WIB

Hiruk pikuk di sekeliling gue saat ini sangat kontras dengan apa yang gue rasain. Hati gue... Kebas. Kebas karena semua pengakuan Bila. Kebas karena sikapnya yang memang keterlaluan.
Cewek itu... Gimana mungkin cewek itu benar-benar mengetahui apa yang ada di hati gue? Setahun lebih hubungan kami, empat tahun terpisah, apa masih logis kalo dia masih mengenali pola hati gue?
Krta Bila brngkt pkl 23.52.
Hati Mas Tirta masih seperti dulu, kan? Tlg selamatkan Bila. Demi menyelamatkan hati Mas. Tolong...

Sms kejam yang sampai beberapa saat setelah gue ninggalin dia sendirian di peron itu telah terekam sangat baik di memori gue. Gue harus gimana, Bil? Tolong...
*
Peron Stasiun Semarang Tawang, 23.50 WIB

Jadi... seperti inilah akhirnya. Aku harus mengikhlaskan semuanya. Terang saja, karena semuanya adalah salahku. Salahku yang meninggalkannya di titik dimana ia sedang sangat membutuhkanku di sampingnya. Salahku yang menorehkan begitu banyak luka di hatina. Salahku juga yang tetap saja menuntut lebih, setelah semua yang telah kulakukan dalam hidupnya. Dia, si pemilik Wajah yang Bening dan Tenang itu, sangat berhak untuk protes dan tidak meluluskan permintaanku sama sekali.
Aku tahu itu... Dan saat mengambil langkah ini, aku sudah siap dengan hasil akhirnya. Siap mengetahui bahwa hatinya tak sanggup untuk memaafkan. Siap mengetahui bahwa hatinya ternyata tak sanggup mengenyahkan rasa sakit itu. Siap mengetahui bahwa, mengikhlaskannya adalah satu-satunya cara agar kami, di masa depan nanti, dapat menjalani kehidupan kami masing-masing dan berbahagia. Dan stasiun kereta ini merupakan simbol yang paling tepat untuk segala pertemuan, juga... perpisahan abadi.
Untuk terakhir kalinya, kuedarkan pandang sekali lagi ke segala penjuru stasiun yang telah menjadi saksi bisu perjalanan kisah cintaku. Sungguh... Aku tidak akan melupakan tempat ini, yang sampai kapanpun akan menjadi tempat spesial di hatiku, di hidupku. Sekarang saatnya aku pergi...
Ketika tiba-tiba saja tangan hangat itu menggenggam lenganku dengan sangat erat.

-Selesai-


(Cerpen ini dibuat dalam rangka mengikuti lomba #NulisKilat yang diselenggarakan oleh Bentang Pustaka dan Plotpoint)

Monday, December 30, 2013

Hanya Angan, Subuh Ini

Kata orang, kamu butuh untuk diselamatkan segera. Dan aku setuju.
Kata orang, kamu butuh cahaya yang menuntunmu untuk melihat bahwa "dunia tidak sekejam itu". Dan aku setuju.
Kata orang, kamu butuh alarm. Dan aku sangat setuju.
Hanya saja, sudah bukan masanya lagi kamu mendapatkan alarm yang hanya bisa berbunyi tanpa bisa dilihat. Kamu butuh alarm yang keberadaannya ada, yang tidak hanya mengingatkan namun juga menuntun, dan menyelamatkanmu. Aku sangat setuju, tentunya.
Karna akupun berpikir demikian.
Karna akupun membutuhkan apa yang juga kamu butuhkan.
Kamu pernah menjadi alarm yang sempurna dibalik semua ketidaksempurnaanmu. Aku juga cukup percaya diri untuk mengatakan bahwa aku pernah melaksanakan tugasku menyelamatkanmu dengan baik.
Sayangnya, kita terlalu cepat lelah. Dengan alasan utama yang tak terbantahkan.
Pemecahannya tidak pernah bisa sesederhana itu. Di depan kita, yang terbentang hanyalah jalan buntu.
Satu-satunya cara hanyalah membuat jalur baru. Dan itu adalah langkah yang sangat besar untuk diambil. Yang membutuhkan keberanian yang sangat besar pula.
Yang kalau dari sisi aku, seberapapun inginnya aku membuka jalan itu, aku... Butuh alasan.
Aku sangat membutuhkan alasan yang logis dan dapat diterima.
Bukan, bukan tentang kamu. Namun tentang aku yang harus menaklukkan diriku sendiri.
Kalau jalan itu berhasil kubuka, apa kamu mau melewatinya bersamaku? Sehingga kita bisa saling mengingatkan, saling menuntun, saling menyelamatkan. Seperti waktu dulu.
Aksi heroik ini tidak akan pernah bisa berjalan jika hanya aku yang ingin, hanya aku yang melaksanakan. Jika hanya aku, aksi ini akan berujung sia-sia. Kamu tetap di sudut sana, dan aku bahkan akan terpuruk lebih dalam.
Jika hanya aku, sudah dapat dipastikan bahwa semuanya hanya akan berakhir pada jurang kehancuran yang lebih dalam.
Bagi kita.
Mungkin akan lebih baik bagi hal-hal yang tidak terhubung dengan kita.
Mungkin... Masih kemungkinan.

Apa tidak bisa semuanya berjalan baik-baik saja, begitupun dengan kita?