Pages

Sunday, August 23, 2015

Jangan Berjalan ke Arahku: Prolog

Bandung, 2015
  
Lalu lintas terlihat sangat padat siang ini. Angkot, motor, mobil, semuanya berebut ingin mencapai tempat terdepan di jalanan Bandung yang terbilang sempit. Ditambah cuaca yang terasa sangat panas, semuanya lengkap untuk menguji kesabaran.

Rahni memang tidak tahu sesejuk apa cuaca Bandung tempo dulu, karena ia baru lima tahun menetap di kota itu. Namun baginya yang telah merasakan hidup di berbagai kota di Indonesia yang dicap bercuaca panas, cuaca Bandung saat ini terhitung adem.

Apalagi kafe tempat ia duduk sekarang. Rahni mengamati semua kepadatan lalu lintas itu dari jendela besar di samping tempat ia duduk. Di telinganya terselip headset yang terhubung pada laptop di hadapannya, mengalunkan lagu Kamakura Goodbye dari Asian Kung Fu Generation.

 Setelah menyuruput sedikit Espresso Frappuccino-nya, Rahni mengangkat ponsel pintar miliknya yang sedari tadi hanya diam. Rahni mengecek semua social media yang ia miliki: facebook, twitter, path, whatsapp, line. Tidak ada tanda-tanda bahwa orang itu akan menghubunginya. Hal yang sebenarnya sudah bisa ditebak. Gadis itu tersenyum simpul. Pandangannya kembali lurus ke layar laptop, melanjutkan ketikannya. Ketikan yang berbicara mengenai... masalalu.

*

Yogyakarta, 2015

Baginya, Jogja adalah penyembuh. Obat penenang dari segala keresahan hati yang dirasakan di kota kelahirannya. Ketika pada akhirnya ia bisa menetap di kota ini, tak terbayangkan betapa bahagia perasaannya. Ia pikir, pada akhirnya, ia dapat memulai segalanya kembali dari awal. Kehidupan yang baru.

Seandainya saja gadis itu tidak menghubunginya lagi, membuat luka hati yang sudah lama menghilang kembali muncul. Hanya satu pesan, namun cukup membuat hati Bram kembali gelisah.

Untuk melarikan diri dari semua rasa gundah yang merubunginya, sejak kemarin Bram telah mereset ulang game Assassin's Creed di PC-nya dan mulai main dari awal. Semua fokus tercurah untuk menyelesaikan game itu. Karena memang hanya game yang mampu membuat hatinya tenang. Bukan yang lain.

*

Kairo, 2015

"Rama, ayo! Yang lain sudah menunggu di lobby."
 "Kalian duluan saja, nanti saya menyusul."

Setelah berkata demikian, Rama menutup buku yang dibacanya. Ruang baca perpustakaan terasa begitu sepi hari ini. Dilayangkannya pandangan ke luar melalui jendela besar di sampingnya. Matahari bersinar sangat terik.

Musim panas di Kairo memang selalu begitu. Kalau bisa, ingin rasanya Rama berada di perpustakaan saja seharian ini, sekalian menyusun proposal untuk mendaftar S2. Namun, ia telah terlanjur berjanji akan menghadiri akad nikah Fahri--teman satu kamarnya selama empat tahun menuntut ilmu di negeri ini. Dengan berat, ia akhirnya beranjak dari duduknya. Diayunkan langkahnya keluar dari perpustakaan.

Ketika Rama sampai di lobby, dilihatnya ternyata teman-temannya masih menunggu. Seraya tersenyum meminta maaf, mereka langsung berjalan keluar menuju metro--salah satu alat transportasi umum di Mesir. Dalam perjalanannya, mata Rama tertuju pada satu titik di bangunan yang ia lewati. Disana terdapat sekumpulan bunga berwarna ungu yang sangat indah.

Tanpa diminta, ingatannya langsung melayang pada percakapan beberapa tahun yang lalu. Pertanyaan yang sebenarnya biasa saja, namun cukup membekas di hatinya.

"Di Mesir lagi musim apa, sih?"
"Musim panas."
"Waaahhh, pasti gerah disana, ya!"
"Banget."
"Mmmm... disana ada bunga yang lagi tumbuh, gak?"
"Ada, dong."
"Ada yang cantik? Selain kaktus tapi ya, hehe..."
"Ada, bunga yang kelopaknya warna ungu."
"Apa nama bunganya?"
"Nggak tau."
"Yah..."

Rama tersenyum simpul, sedikit perih. Apa kabarnya sekarang, ya?

*

Sunday, August 9, 2015

Ini yang Terakhir

Ada yang hatinya sedang tidak tenang karena disapa oleh masalalu. Sapaan yang berisikan maaf, entah atas kesalahan seperti apa yang dulu pernah terjadi. Kira-kira, bagaimana caranya menanggapi sapaan tersebut?

Ia menanggapinya persis seperti lirik lagu yang terkenal beberapa tahun yang lalu, diam tanpa kata.

Kenapa harus diam? Kenapa harus tanpa kata, tanpa tanggapan?

Paham, kok. Luka hati tidak akan bisa sembuh secepat menyeduh mie gelas. Hanya saja, semuanya tetap mengherankan. Bukan menyelesaikan masalah, mana menambah daftar pertanyaan baru. Yang paling mendesak, yang paling membutuhkan jawaban adalah: sebenarnya mau kamu apa, sih?

Yang diketahui dengan sangat pasti, itu pula pertanyaan yang sangat ingin ia lontarkan.

*

Sebagai maslalu yang seharusnya berada di belakang, apa mauku?

Simpel.

Seperti yang kamu ketahui dengan pasti, aku bukanlah orang yang suka tiba-tiba saling menghilang dalam situasi hubungan antarmanusia yang buruk. Entah itu karena kesalahanku, atau kesalahan pihak seberang, jika itu demi memperbaiki hubungan yang sempat menegang, aku akan menundukkan kepala duluan. Demi membaiknya suatu hubungan silaturahmi. Kalaupun pada akhirnya harus putus kontak, itu hanya terjadi secara alami karena faktor jarak dan intensitas komunikasi, bukan karena masalah.

Itu pula yang, setelah bertahun-tahun aku membiarkan suasana dingin ini tetap beku, yang akhirnya membuatku menyapamu kembali. Meminta maaf darimu. Dengan ketetapan hati, bahwa ini yang terakhir. Bahwa setelah ini, bagaimanapun tanggapan darimu, I'm cool dan akan terus berjalan ke depan, tanpa menoleh.

Aku heran. Dua kali kamu melakukan hal yang sama. Dua tahun lalu, dan... Sekarang. Aku hanya ingin tahu: kenapa?

Aku selalu berharap...
Jika kamu ada masalah, datanglah padaku. Walau sebenarnya, akulah sumber masalahmu itu. Tapi tak mengapa. Cukup datang saja padaku, ceriatakan saja, dan kita cari pemecahannya bersama.

Pun jika kamu merasa lelah, bersandarlah padaku. Walau bisa jadi, kamu terlalu lelah menghadapi aku. Biarlah. Duduk saja di sampingku, rebahkan kepalamu di bahu, dan... Istirahatlah. Tenang saja, lah.

Atau jika kamu merasa kesepian, panggillah aku. Walau bisa jadi, akulah yang menjadi penyebab hatimu terasa kosong. Nggak masalah, tetap panggil aku. Dan kita akan tertawa bersama, membunuh sepi bersama, menghalau semua rasa yang tidak mengenakkan bersama-sama.

Dari dulu sampai sekarang, apapun bentuk hubungan kita, aku ingin menjadi orang yang seperti itu untukmu.

Ralat, bukan hanya untukmu. Untuk semua orang terdekatku. Untuk semua yang kusayangi. Kamu, memang termasuk di dalamnya.

Tapi, kalau kamu tidak ingin menerima uluran tanganku, dua kali, pula... Aku bisa apa?

Karena sikapmu seperti ini sudah diperkirakan, makanya kutetapkan sejak awal.

Ini yang terakhir. Akhir dari segalanya.

Silakan hidup tenang. Dan, tetap... Maaf lahir batin :)

Wednesday, August 5, 2015

Membersihakn Debu di Blog *lagi*

Bulan Agustus!

Tiap hari sebenarnya bertanya-tanya, bisa nggak ya, aktif nulis di blog? Ngepost tulisan dengan jangka waktu yang tetap--seminggu sekali, misalnya--dan teratur. Menuliskan yang benar-benar tentang apa saja. Cerpen kah, resensi kah, curhat kah, atau yang lain.

Walau kadang, untuk menulis hal yang lain itu, harus lebih banyak bertanya pada diri sendiri.

"Put, sudahkah kamu menjadi pengamat yang baik? Bukankah modal awal untuk menjadi seorang penulis yang baik adalah dengan menjadi pengamat yang baik? Memfungsikan semua indera--pendengaran, penglihatan, penciuman, peraba, pengecap--dengan sangat baik, mengenai fenomena yang terjadi. Tidak perlu mengenai hal-hal besar seperti berita apa di belahan dunia mana. Yang terdekatmu saja, dulu. Sudahkah?"

Kalau harus dijawab, jelas jawabannya adalah belum. Niat selalu ada, pelaksanaan yang belum.

Kesimpulannya? Bisa lah yaa, ditarik sendiri tanpa disuarakan. Terlalu malu pada diri sendiri.