Pages

Monday, September 28, 2015

Sebut saja aku pengecut, jika kau mau
Aku sama sekali tidak keberatan
Toh, kau juga membuatku menjadi pengecut seperti sekarang ini
Apakah kau tidak menyadarinya?
Sudah kuduga

Aku akan menghilang kapanpun aku mau
Berapa lamapun yang kuinginkan
Aku butuh segenap waktu itu untuk bersembunyi dari dunia yang begitu mengerikan
Dunia yang kau, juga mereka, ciptakan
Untukku

Sebut saja aku pengecut, jika kau mau
Dalam kepedulian, justru sebenarnya aku sudah sangat tidak peduli
Lelah menanggapi semua kesinisan yang kau, juga mereka, lontarkan untukku
 Masih tetap tidak menyadarinya?
Sungguh terlalu

Selalu dikatakan kejam oleh orang-orang kejam
Selalu dicap seenaknya oleh mereka yang lebih semena-mena
Selalu dianggap penyebab begitu banyak sakit hati oleh semua yang telah menorehkan begitu banyak luka di hati

Ini kebal bukan sembarang baal
Hati kebas hingga ke taraf sangsi

Sebut saja aku pengecut, jika kau mau
Aku akan tetap menghilang dari semua yang kau sebut masalah
Persetan jika pada akhirnya kau menyadari
Cedera hati ini adalah kau, juga mereka, yang menjadi sang penyebab

Aku tidak peduli.

Everyone Has Their Own Battlefield

Every single person in this world has their own problems yang membutuhkan segenap perhatian, segenap curahan pikiran dan perasaan serta strategi untuk menghadapinya. Untuk menyelesaikannya.

Sesungguhnya, tantangan terbesar yang dihadapi setelah terjun ke medan perang itu adalah: perang dengan diri sendiri. Benar, ada diri kita sendiri yang harus dilawan. Pemikiran-pemikiran sendiri. Pembelaan dan penyanggahan sendiri. Mencari jalan keluar sendiri. Semuanya dilakukan dengan mendebat diri sendiri, bukan?

Perang psikis seperti itu, entah siapa yang pada akhirnya akan menjadi pemenangnya. Yang jelas, sisi manapun yang menjadi pemenang, tidak selamanya akan menjadi penyembuh dari masalah yang sedang dihadapi. Bisa jadi membawa menuju pemikiran yang lebih kelam, lebih menenggelamkan. Memunculkan suatu paranoid tersendiri, alih-alih kedamaian hati.

Tidak ada solusi ataupun tips yang bisa disampaikan jika persoalannya sudah seperti ini.

Terang saja. Bahkan sampai tulisan ini ditampilkan pun, penulisnya sendiri tidak memiliki solusi terbaik, strategi terbaik, untuk digunakan dalam medan perangnya. Her own battlefield yang begitu kompleks, begitu menyeramkan.

*

Wednesday, September 23, 2015

Ini (Benar-Benar) Yang Terakhir

Aku harus membuat laporannya, yang sekaligus menjadi penegasan bahwa ini benar-benar yang terakhir kalinya. Meski laporan ini sedikit terlambat disusun (lebih dari sebulan setelahnya), tak mengapa. Karena ada tahapan yang harus dilewati hingga benar-benar merasakan kedamaian.

Benar.

Aku, pada akhirnya, jauh sebelum tulisan ini muncul... Telah sampai pada tingkat kedamaian yang selama ini aku harapkan.

*

Entah apa yang memotivasi dirimu pagi itu, aku tak pernah tahu. Yang kutahu pasti, aku sangat bersyukur karena akhirnya kamu bersedia muncul. Terlepas dari apapun yang kamu ucapkan di saat kemunculanmu itu, berkali-kali aku ingin sekali mengucapkan, "Terima kasih, karena akhirnya kamu menghubungiku untuk pertama kalinya."

Walau saat terakhir kali aku mengontakmu, kutetapkan hati bahwa itu adalah kali terakhir aku berusaha meminta maaf, tapi kemunculanmu ini adalah suatu kesempatan yang tidak dapat kusia-siakan begitu saja. Maka, di hari itu, aku sedikit melanggar ketetapan hatiku.

Sekali lagi, aku akan menerormu, bertubi-tubi, namun cukup di hari itu saja.

Meskipun, hingga detik ini, percakapan kita di hari itu ialah tanpa hasil. Aku, sama sekali tidak bisa mendapatkan jawaban dari semua rasa penasaranku terhadap sikapmu selama ini. Tapi tak mengapa. Aku sudah bisa menebaknya (walau sempat uring-uringan sedikit), dan aku sudah mengikhlaskannya.

Karena aku tahu. Sampai kapanpun, hatimu tak akan cukup lapang untuk menjawab itu semua.

Setidaknya, percakapan kita berakhir dengan baik-baik saja, terlepas dari tanya tanpa jawab yang kulontarkan. Sesaat, hanya sesaat, percakapan kita terjalin dengan sangat normal. Kamu harus tahu betapa aku sangat mensyukuri setiap detik yang terlewat demi percakapan itu terjadi :')

Seiring dengan terbangnya pesawat sukhoi itu ke arahmu, lunas sudah semua hutang. Apa yang ingin kuberi, semuanya sudah terkirim. Apa yang ingin kukatakan, semuanya sudah disampaikan. Karena ini, benar-benar yang terakhir kalinya. Kegiatan teror-meneror ini sudah berakhir. Sempurna. Selanjutnya?

As you said, "The truth is hurt, but it heals," maka damailah. Nanti ketika kamu sudah sembuh seutuhnya, lakukan seperti yang kulakukan saat ini ya: mengenangmu dengan hati ringan, dengan senyuman.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Sayonara