Pages

Wednesday, February 19, 2014

Memberi dan Menerima



Kamu adalah seseorang yang selalu memberi terlalu banyak untuk dirinya, begitu kata orang banyak. Namun, yang kamu rasakan adalah tidak pernah sebanyak itu. Maka kamu akan terus memberi, memberi, dan memberi. Memberi untuk kebahagiaannya. Memberi untuk senyumnya. Juga memberi, untuk menerima satu rasa yang kau inginkan darinya: cinta.
Lantas, mengapa dia seperti itu? Menjauh dengan tak tahu dirinya. Menghilang tanpa tahu bagaimana rasanya berterima kasih. Meninggalkanmu, yang jelas-jelas telah melakukan segalanya demi hatinya.
Sadar, hey! Kamu harus sadar. Sudahlah, tidak usah menunggunya. Kamu berhak marah. Kamu berhak mendendam. Silakan, mendendamlah. Namun hanya untuk kebaikan dirimu sendiri. Masih banyak yang lebih menghargai ketulusan serta kebaikan hatimu dibandingkan dirinya. Kamu pantas menerima lebih banyak dari yang telah kamu berikan dengan percuma itu. Terimalah, dari hati lain yang lebih lapang.

Friday, February 14, 2014

Seberapa Pantas


Seberapa pantaskah kau untuk kutunggu?

Kamu jahat. Kamu selalu jahat. Selalu membuatku menunggu. Menunggu tanpa tahu kapan kamu akan datang. Kapan kamu harus pergi lagi. Kapan kamu kembali. Kapan kita jatuh cinta lagi, karenamu. Itu kamu. Kamu yang jahat.

Cukup indahkah dirimu untuk slalu kunantikan?

Walau nyatanya aku tahu alasanmu saat pergi. Juga saat kau mencoba kembali. Dan selalu kuterima dengan sepenuh hati. Walau kamu selalu menebar perih. Aku tahu itu, namun tetap menerimamu. Mencintaimu, karena kau begitu berharga.

Mampukah kau hadir dalam setiap mimpi burukku?

Bahkan setiap kedatanganmu menjadi mimpi buruk, aku terima. Aku selalu menerimanya. Asal kau ada. Asal kau disini. Meski pahit, hatiku tetap menunggumu. Menyambutmu. Memelukmu dengan hangatnya.

Mampukah kita bertahan disaat kita jauh?

Walau kehadiranmu itu indah, bukan berarti tidak buruk. Namun justru lebih buruk lagi jika kau tak ada di sisiku. Ketidakhadiranmu lebih menakutkanku. Membuatku merasa kesepian. Walau saat kau ada, bukan berarti rasa sepi itu hilang sepenuhnya.

Seberapa hebat kau untuk kubanggakan?

Bahkan ada bagian dari dirimu yang tidak kusuka. Tidak kuinginkan ada. Justru jika bisa terlupa, ingin lupakan saja. Lagi-lagi, hati ini menerimanya. Mencoba mengendurkan semua, membuatmu selalu terlihat hebat dengan segala kekuranganmu.

Cukup tangguhkah dirimu untuk selalu kuandalkan?

Juga untuk setiap keraguan yang kerap datang menghampirimu. Butuh aku untuk selalu ada, meyakinkanmu lagi dan lagi. Walau aku juga harusnya selalu kau yakinkan, tak peduli seberapa kuatnya aku. Baiklah, kau bisa mengandalkanmu. Karena aku selalu mengandalkanmu.

Mampukah kau bertahan dengan hidupku yang malang?
Begitupun hidupmu. Kita begitu mirip. Hingga walau kita bersebrangan, pasti pada akhirnya akan kembali lagi. Kesamaan rasa itu membuat kita selalu menyatu. Saling menopang masing-masing hati.

Sanggupkah kita bertahan disaat aku bimbang?
Hingga segala keraguan yang menyingkapi hati kita sirna. Dengan selalu berpegangan tangan. Dengan mencoba untuk tidak saling meninggalkan. Dengan selalu mencintai satu dan lainnya. Kebimbangan itu perlahan sirna. Kita, bisa bertahan.

Celakanya hanya kaulah yag benar-benar aku tunggu

Dan itu, selalu, hanya dirimu. Bagiku, tak pernah ada yang lain. Hati ini, singgasananya selalu bertahtakan kamu. Iya, hanya kamu. Masihkah kau tak mempercayainya?

Hanya kaulah yang benar-benar memahamiku

Karena kau selalu tahu kapan kau bisa kembali saat kau pergi. Karena kau selalu bisa membuatku memaafkanmu, memaklumi semua sikapmu. Kau pasti sangat membaca hatiku dengan sangat baik. Masihkah kau meragukannya?

Kau pergi dan hilang kemanapun kau suka

Membuatku terus mencarimu, seperti orang gila. Bertanya kesana kemari, menunggu berhari-hari. Aku sakit, aku hampa. Dan kau selalu bertindak sesukanya. Tapi hatiku tak pernah berubah, kau tahu itu?

Celakanya hanya kaulah yang pantas untuk kubanggakan

Mana mungkin aku meremehkanmu, pembolak-balik hati yang handal. Mana mungkin aku merendahkanmu, orang yang kuberikan seluruh hidupku. Iya, aku menjadi segila ini karenamu, kau tahu itu?

Hanya kaulah yang sanggup untuk aku andalkan

Begitu aku terpuruk karena sikapmu, kau jugalah yang memegang tanganku untuk keluar dari keterpurukan itu. Begitu aku tenggela, dalam ketidakpastian, kaulah yang menyelamatkanku. Mana mungkin kau tidak kuandalkan, masihkah kau tak mengerti?

Di antara perih aku slalu menantimu

Selalu, dan tak pernah berubah.

Mungkin kini kau tlah menghilang tanpa jejak, mengubur semua indah kenangan

Lagi, dan kau melakukannya lagi. Berkali-kali kau meninggalkanku lagi. Apa yang kau lakukakn sebenarnya, menempa mentalku? Hatiku? Pikiranku? Semuanya bahkan sudah cukup kuat tanpa harus kau melakukan ini semua...

Tapi aku slalu menunggumu disini, bila saja kau berubah pikiran

Karena dalam setiap pelarianmu, dalam setiap kelakuanmu yang membuat hatiku tersayat, tidak pernah ada kata usai di hatiku. Selamanya, aku akan tetap menganggapmu kembali lagi. Memaafkanmu, selalu. Mengharap semua sikap manismu kembali lagi. Juga hati tulusmu yang pernah ada untukku. Karena bagiku, selamanya hanya ada kamu.


(Dari lagu Sheila on 7 – Seberapa Pantas. Diposting pada 14022014)

Thursday, January 2, 2014

Selamat Tinggal, Rayyi (FF "Montase")


(cerpen ini diikutsertakan dalam lomba fanfiction oleh GagasMedia dari novel Montase karya Windry Ramadhina. Kalo di novel aslinya menggunakan sudut pandang Rayyi, nah di FF ini aku coba mengeksplor perasaannya Haru dalam setiap momennya bersama Rayyi. selamat membacaaa ! )


“Rayyi, kau mau menemaniku syuting Sabtu ini? Ada tempat yang ingin kudatangi.”

“Syuting? Haru, kau sedang sakit.”

Iie, daijoubu – tidak apa-apa. Aku tidak sakit. Aku akan bawa teh dan onigiri. Pasti menyenangkan.”

Semakin dekat. Waktunya sudah semakin dekat, Rayyi. Apa yang terjadi hari ini menyadarkanku untuk segera kembali berada di dekat Otousan dan Okaasan saat waktuku tiba.

Mungkin bagimu, Rayyi, ajakan di hari Sabtu nanti akan menjadi hari biasa. Namun bagiku, Rayyi, apa yang akan kulakukan untukmu nanti adalah salah satu bentuk impianku. Kau tahu?

Ah... mungkin kau sudah melupakannya.

Sungguh, Rayyi. Sejak kau memberiku ciuman itu, aku benar-benar menyadari bahwa kau... Istimewa. Kau, Rayyi, adalah malaikat pembawa kebahagiaan yang dikirimkan Dewa Langit untukku. Karenamu, aku mulai berani memimpikan melakukan hal-hal indah bersama orang yang kusuka.

Apa kau ingat, Rayyi?

Aku ingin bergandengan tangan dengan orang yang kusuka. Melihat kembang api berdua. Merayakan ulang tahun di atap gedung tinggi. Menulis surat cinta. Memasak cokelat di hari valentine. Mendapat kecupan.

Ah... Rayyi. Bahkan kau sudah membuat satu di antaranya menjadi nyata.

Maka dari itu, Rayyi. Sebelum semuanya terlambat. Walau aku tidak akan pernah berani mengungkapkan secara gamblang tentang perasaan ini... Biarlah. Izinkan aku mewujudkan beberapa hal indah lagi, bersamamu, walau harus kututupi dengan alasan-alasan lain. Maafkan aku, untuk waktu yang sesingkat ini ingin menjadi egois, agar sebelum aku benar-benar pergi nantinya, aku tahu bagaimana rasanya bahagia dengan lelaki yang dicintai.

*

Suteki da ne? Kono raifu.

Lantas, apalagi yang bisa kuucapkan padamu, Rayyi? Hidup ini memang indah. Bahkan Dewa Langit masih berbaik hati padaku untuk sejenak mencicipi perasaan berdebar-debar ini, yang diwujudkan lewat kamu.

Terima kasih banyak, Rayyi, karena selama ini kamu rela menemaniku, rela menjadi seorang pria yang mewujudkan impianku. Piknik dan syuting kita hari ini pun berakhir dengan sangat manis, walau setelahnya kita harus segera menyingkir karena malu ditatap oleh pengunjung lain di museum itu, haha.. Tapi aku senang. Hontouni arigatou ...

Otousan, Okaasan... Minggu ini, aku akan pulang ke rumah.”

Setelah mengatakan hal tersebut via sambungan telepon luar negeri, aku hanya mendengar isak tangis kedua orang tuaku sebagai jawabannya.

*

Selamat tinggal, Rayyi.
Sent

“Mohon maaf karena telah merepotkan, Mbak.”

Aku sebenarnya merasa tidak enak karena harus merepotkan petugas resepsionis ini untuk mengirimkan beberapa barangku yang memang tidak mungkin dibawa ke penerbangan hari ini. Namun, petugas resepsionis itu menenangkanku dengan senyum ramahnya. Ah... Sampai kapanpun aku tidak akan pernah melupakan kebaikan orang-orang Indonesia. Negeri yang indah, dan juga ramah.

Sungguh. Dalam perjalananku ke bandara menggunakan taksi, aku mengenang kembali semua yang kutemui di negeri ini. Walaupun jalan yang kulalui saat ini bukanlah salah satu hal yang aku suka karena kemacetannya, namun aku banyak menemukan hal yang menarik. Aku banyak menemukan tempat-tempat yang indah dan bersejarah, oleh-oleh perjalananku melakukan syuting untuk memenuhi tugas perkuliahanku.

Ah... semoga di kehidupanku yang mendatang, aku dapat berkunjung ke negara ini lagi.

Aku baru saja turun dari taksi dan menaikkan barang bawaanku ke atas troli – yang terjatuh, karen kecerobohanku – ketika wangi parfum yang sudah sangat kukenal itu berada di dekatku, membantu merapikan kembali barang-barangku yang berceran.

“Rayyi?”

Tak jauh di belakangnya, kulihat Bevvu juga ada disini. Kedua orang ini menyusulku. Sesuatu yang paling tidak kuinginkan terjadi. Tidak, aku sangat tidak ingin bersedih karena harus meninggalkan mereka, makanya aku merahasiakan kepulanganku ke Jepang dari mereka semua.

Namun, saat ini mereka disini. Mana mungkin aku pergi tanpa meninggalkan penjelasan, bukan?

“Aku punya penyakit. Bukan penyakit seperti anemia atau flu. Penyakit yang ini tidak memberi aku waktu yang cukup untuk melakukan banyak hal. Aku... Mengidap kelainan darah. Leukimia.”

Tidak ... Aku benar-benar tidak sanggup menyaksikan ekspresi mereka saat ini. Apalagi kau, Rayyi. Kau, yang telah memberiku kebahagiaan selama ini, namun aku malah memberimu kabar yang menyakitkan seperti ini.

“Maaf. Aku tidak memberi tahu kalian selama ini. Untuk sesaat, aku ingin lupa bahwa aku sedang sakit.”

Dalam artian yang baik, tentunya. Aku ingin lupa bahwa aku sedang sakit, agar aku bisa menikmati setiap detik kebersamaan yang kita miliki selama aku berada di Indonesia. Namun, akhir-akhir ini aku justru diingatkan kembali pada penyakit itu. Mungkin kemarin aku terlalu terlena. Namun aku puas. Aku bahagia.

Ya, sangat bahagia.

Karena itu, kalian tidak boleh bersedih. Akan kubagikan kebahagiaanku pada kalian, setidaknya lewat senyuman.

“Tidak apa-apa, Bevvu. Semua akan baik-baik saja.”

Seraya menenangkan Bevvu yang menangis tersedu-sedu, pandangan mataku menangkap sosok Rayyi yang hanya berdiri mematung. Diam, sejak tadi tidak mengeluarkan sepatah katapun. Hey, Rayyi. Mengapa kau tanpa ekspresi seperti itu? Lihatlah aku, yang bahagia... berkat kau.

Akhirnya kesadaran Rayyi kembali, dan ia menatap tepat di manik mataku. Aku membalas tatapannya, sambil memasang senyum terlebar yang selalu kuberikan pada Rayyi. Senyum bahagiaku.

“Selamat tinggal, Rayyi.”

Kurengkuh kedua tangannya Dapat kurasakan jemarinya berkeringat dingin, gemetar.

“Terima kasih. Kau membuattku bahagia. Sekarang, aku tidak punya penyesalan apa-apa.”

Begitu saja cukup. Ya, tanpa penyesalan apapun, kulangkahkan kaki untuk masuk ke dalam, namun langkahku sejenak dihentikan oleh Rayyi yang ingin mengembalikan omamori yang pernah kuberikan padanya. Tentu saja tidak kuterima. Aku ingin dia menyimpannya, agar keberuntungan yang pernah menyertaiku dapat kubagikan padanya. Dengan demikian, Rayyi dapat mencapai cita-citanya.

Selamat tinggal, Rayyi.

*

Sudah enam bulan sejak aku kembali menginjakkan kaki di tanah kelahiranku. Kembali menjadi anak Otousan dan Okaasan setelah hampir setahun menetap di Indonesia membuatku merindukan banyak hal: bagaimana Okaasan membangunkan di pagi hari dengan wangi masakannya yang mengundang selera, bagaimana Otousan selalu memelukku dan membuatku tertawa, suasana di sekitar rumahku, toko milik orang tuaku, dan... segalanya.
Benar, bagaimanapun indahnya berada di tanah orang, negeri sendiri tetaplah yang paling indah.

Selama enam bulan ini juga, Rayyi sangat rajin mengirimiku surel. Isinya bermacam-macam. Lebih banyak tentang kegiatan magangnya di tempat Samuel Hardi. Aku bangga, dan turut bahagia atas semua yang Rayyi hadapi. Ia sangat berani mengambil langkah untuk meninggalkan ayahnya dan fokus di dunia film dokumenter.

Selama enam bulan ini, surel dari Rayyi selalu berhasil membuatku merasa tenang dan bahagia setelah menjalani kemoterapi yang sangat... begitulah.

Seperti hari ini. Satu Januari. Tahun baru. Aku ingat pernah mengatakan pada Rayyi bahwa ingin melihat kembang api berdua dengan orang yang kusuka.

Syukurlah, ternyata Rayyi juga mengingatnya dengan baik. Karena hari ini, Rayyi mengirimi surel yang berisi rekaman video kembang api di Jakarta dilihat dari gedung perkantoran milik Samuel Hardi.

Rayyi, ini indah sekali. Bahkan dengan jarak kita yang sudah sejauh ini, kau masih bisa mewujudkan keinginanku, mendapatkan hal-hal indah bersama orang yang dicintai.

Tidak semua surel dari Rayyi selalu kubalas. Bahkan, seringkali aku membalasnya dengan singkat. Ya.. Selain karena perbedaan huruf dan bahasa yang kami gunakan, sebenarnya aku malu. Ralat, maksudnya terlanjur merasa terlalu senang hingga tak tahu lagi harus membalas seperti apa. Bodoh, ya? Hahaha...

Aku sangat ingin membalas semua kebaikan Rayyi, bahkan ketika aku sudah tiada nanti. Aku ingin, sepeninggalanku nanti, Rayyi tetap menjalani harinya dengan semangat dan bahagia. Tanpa penyesalan, tanpa kesedihan atas kepergianku.

Dan... isi surel berikutnya sangat menginspirasiku.

Aku akan memberikannya kenangan yang indah... melalui sakura.

*

Okaasan, aku ingin berjalan-jalan sebentar,” ujarku riang sambil menenteng kamera.

Sejak pulang ke Tokyo, aku memang selalu merekam banyak hal. Rumahku, toko orang tuaku, sekolahku, jalanan di sekitar rumahku, Taman Ueno dengan pohon sakuranya yang indah. Kini, aku ingin merekam semuanya sekali lagi. Sambil mengingatmu, Rayyi, dan semua kebahagiaan yang pernah tercipta di antara kita.

*

He, Rayyi. Apakah saat ini kau sedang bersedih? Mengapa isi suratmu penuh keraguan, atas jalan yang sudah kau tempuh selama enam bulan terakhir ini?

Rayyi, kau bertanya padaku. Apakah aku pernah menyesal dan ingin mengulang semuanya dari awal, andai kata aku dapat melakukannya?

Aku ingat aku sudah menjelaskannya padamu, Rayyi. Aku tidak menyesal mengambil kuliah di bidang perfilman dokumenter, meski itu berarti aku tidak dapat kuliah seni lukis. Yang kuinginkan hanyalah kebahagiaan kedua orang tuaku, karena mereka adalah orang yang paling kusayangi dan kucintai di seluruh dunia. Kebahagiaan mereka lebih berharga dari apapun. Lagipula, Rayyi. Aku tetap bisa melukis.

Ada satu alasan lagi yang sengaja tidak kuungkapkan padamu, Rayyi. Aku bersyukur karena memilih dunia perfilman dokumenter sebagai jalan hidupku. Kau tahu mengapa?

Dunia ini mempertemukanku dengan dirimu. Dan hal ini adalah hal yang sangat aku syukuri terjadi dalam hidupku.

Maka dari itu, Rayyi. Setelah semua keberuntungan dan kebahagiaan yang aku dapatkan selama ini, mana mungkin aku tega menyesali semuanya?

*

Katanya, orang-orang yang mendekati ajal memiliki insting mengenai kedatangan sang malaikat pencabut nyawa.
Kau tahu, Rayyi? Kurasa gosip itu benar. Sepertinya, aku dan malaikat maut sudah memiliki janji untuk bertemu. Bahkan, mungkin saja ia sudah berada di dekatku. Bersiap untuk menjemputku. Tak lama lagi. Aku tahu itu. Waktuku sudah semakin dekat.

Kau pasti masih selalu mengirimi surel, ya? Maafkan aku karena tidak dapat membalasnya, Rayyi. Beginilah aku, sedang terkurung di ranjang rumah sakit. Rasanya tidak enak, Rayyi. Apalagi harus selalu menyaksikan kedua orang tuaku menitikkan airmata. Melihat rona sedih pada wajah mereka.

Tentunya harus aku yang membuat mereka bahagia, kan? Makanya, aku tidak pernah memasang wajah sedih di hadapan mereka. Aku yang harus menguatkan mereka, membuat mereka tegar, mengingatkan kedua orang tuaku bahwa tidak ada hal yang perlu disesali atas semua yang terjadi. Mengingatkan kedua orang tuaku pada keindahan sakura.

Sakura...

Ah... surat itu.

Otousan, Okaasan... Bolehkah aku mengajukan satu permintaan? Tolong kirimkan surat ini pada Rayyi... Setelah aku pergi. Dua tahun setelah aku pergi saja, saat sakura mulai bermekaran di bulan April. Bolehkah?”

“Apapun, Sayang ... Apapun permintaanmu. Tapi, tolong... Jangan pernah mengucapkan hal-hal menyedihkan seperti itu, ya? Kau pasti akan sembuh. Haru pasti akan baik-baik saja.”

Aku hanya dapat tersenyum lemah. Benar, Okaasan. Setelah ini, aku memang akan baik-baik saja. Dalam tidur panjangku, tentunya.

Selamat tinggal, Rayyi.

*

‘Keindahan sakura hanya sebentar, tapi karena itu dia begitu berharga.

Rayyi, apa kau melihat sesuatu yang kulihat dari balik lensa kameraku?

Sakura adalah ciri kehidupan yang tak abadi.

Karena itu, Rayyi, kenangan yang kau bawa serta bersama sekotak mochi dan sebotol sake tadi sudah saatnya kau lepaskan. Tidak mudah, memang, dan butuh waktu. Itu sebabnya mengapa aku memberikan pesan ini setelah beberapa lama.

Lalu, kalau tangisanmu sudah berubah kembali menjadi senyuman, datanglah mengunjungiku dan kita bisa melihat sakura bersama.’

Ya. Disinilah Rayyi sekarang berada. Lima tahun setelah kepergian Haru. Di tempat peristirahatan terakhir Haru, Rayyi memandangi indahnya sakura yang sedang bermekaran seraya tersenyum bahagia. Menyaksikan pemandangan indah ini bersama Haru, walau dari dunia yang berbeda.