Pages

Wednesday, October 7, 2015

Jangan Berjalan Ke Arahku #1: Awalnya (dengan Rama)

Bandung, 2015

Teknologi memudahkan segalanya. Kalau di jaman sebelum komputer dan internet merajalela, orang-orang harus menempuh perjalanan terlebih dahulu agar bisa saling tatap dan mengetahui kabar satu dan yang lain, lain halnya dengan sekarang. Sekarang, semua sapaan dan saling tatap itu bisa dilakukan melalui dunia maya.

Seharusnya sesimpel itu.

Apa yang disuguhkan oleh dunia maya sangatlah menggiurkan. Gampang untuk mencari tahu kabar dari orang manapun yang terlintas di pikiran. Ketikkan saja namanya pada beragam jenis media sosial yang tersebar saat ini: facebook, twitter, path, instagram, dan lainnya.

Syaratnya? Tentu saja kalau orang tersebut setidaknya memiliki akun media tersebut, kemudian aktif menggunakan semua jenis media tersebut.

Syarat yang, sayangnya, tidak berlaku bagi Rahni untuk mendeteksi kehidupan Rama.

Rama memang memiliki semua jenis media sosial yang tadi telah disebutkan. Hanya saja, cowok itu jarang sekali--kalau tidak bisa disebut tidak pernah--mengelola semua akun tersebut. Rahni, pada akhirnya, hanya dapat mendengar kabar Rama dari sahabatnya, yang pernah satu SMA dengan Rama--itupun kalau Rahni mengesampingkan semua gengsinya dan menanyakan kabar terbaru mengenai Rama, seakan hal itu adalah biasa saja yang tidak berhubungan dengan masalalu. Nyatanya berhubungan.

*

Aceh, 2003

"Di kelas 4A,hasil ulangan siapa yang paling tinggi?"

"Biasa, lah. Itu si Nurul sama Ririn. Kalo di kelas B siapa?"

"Si Astri."

"Ooo..." Fie manggut-manggut mendengar jawaban dari Rahni. "Eh, eh. Tebak dong, siapa yang jadi juaranya di kelas C."

"Siapa emang?"

"Lah, nggak tau aku. Kirain kau tau."

Rahni langsung menjitak pelan kepala sahabarnya itu. "Malah kukira kau ngomong gitu buat ngasih tau aku! Hih, sebel!"

"Hahaha .. Udah ah, aku balik ke kelas dulu."

"Ntar pulang bareng!"

"Okesiiiip!

*

Di SD Iskandar, ada peraturan yang, kalau harus dingat-ingat, sekarang terkesan sangat lucu namun lumayan memotivasi.

Para siswanya dijaring masuk berdasarkan kelancarannya dalam tes baca dan tulis. Anak-anak yang bacaannya bagus, masuk ke kelas 1A. Yang bacaannya kurang lancar, bisa ditaruh di kelas 1B, 1C ataupun 1D.

Rahni, yang sejujurnya sudah lupa bagaimana proses saat ia masuk SD dulu, yang jelas ia dimasukkan ke kelas 1D. Karena kerusuhan Aceh di era reformasi, ketika kompleks perumahannya diserang, Rahni sekeluarga lantas pindah ke Semarang hingga kelas 2 SD. Itulah kali pertama Rahni menjadi perantau yang tinggal bersama Eyang dan Tantenya. Sedangkan orang tua dan adiknya, setelah kerusuhan mereda
--kira-kira sebulan atau dua bulan lamanya--langsung kembali ke Aceh, meninggalkan Rahni sendirian. Namun, gadis kecil itu tidak merengek. Tidak protes, walau dalam hati ia ingin sekali ikut pulang bersama orang tuanya.

Keinginannya terwujud saat ia kelas 2 SD. Rahni akhirnya kembali ke Aceh, tinggal bersama orang tuanya, dan juga kembali bersekolah di sekolahnya yang dulu. Namun, keramahan lingkungan terhadapnya berubah, terutama dari teman-temannya yang berdarah asli Aceh. Sentimen yang tinggi terhadap kata-kata "jawa", ditambah lagi Rahni baru saja pulang dari Pulau Jawa setelah berbulan-bulan lamanya tinggal disana dan berbicara dengan logat Jawa yang kental, membuatnya sering mendengarkan ucapan tidak enak semacam, "Pergi kau, Jawa! Penjajah!" atau, "Oom aku pejuang. Sembunyi kau! Bisa mati ditembak kau sama Oom aku, Jawa! dan ucapan-ucapan bernada rasis lainnya.

Awalnya Rahni sedih, bahlan pernah mengadukan hal ini kepada orang tuanya.

"Sabar aja, nanti juga reda sendiri."

Dinasehati begitu, Rahni pun selalu bersabar, hingga akhirnya tidak menanggapi ucapan itu secara serius. Lagipula, pendatang yang bersekolah disini tidak cuma dirinya. Justru kalau mau berhitung, kebanyakan teman dan seniornya yang bersekolah disini adalah pendatang--sebagian besar dari Pulau Jawa. Jadi, apa yang harus ditakutkan?

Hingga akhirnya, isu-isu menyangkut suku bangsa itu hilang dengan sendirinya.

*

Di antara semua teman-temannya, ada salah seorang cowok yang tidak menganggunya dengan ucapan bernada rasisme tersebut. Cowok itu justru terlihat tak peduli dengan isu apapun di sekitarnya. Ia seperti memiliki dunianya sendiri. Tidak terpengaruh dengan sekitar. Tidak berusaha untuk menonjolkan diri. Sangat berbeda dengan Rahni yang--akibat gangguan-gangguan bernada SARA itu--tumbuh menjadi seorang cewek dengan karakter kuat: vokal, emosi yang nggak stabil, aktif di kelas. Saat itu, hingga beberapa tahun kemudian, Rahni hanya mengenal cowok itu hanya sebagai orang yang sekelas dengannya.

Hingga setelah "acak kelas' saat 4 SD dan Rahni tidak sekelas lagi dengannya, tiba-tiba saja cowok itu menjadi seseorang yang bersinar. Terkenal sebagai cowok yang nilai akademiknya bersinar dibandingkan dengan teman-teman sekelas lainnya, juga jagoan saat bermain alat musik tradisional. Namun, bahkan pada saat itupun, hingga dua tahun setelahnya, Rahni masih menganggap cowok itu sebagao orang yang pernah sekelas dengannya.

Kisah mereka benar-benar dimulai saat SMP, ketika akhirnya mereka sekelas lagi. Mulai dari saat itu, hingga beberapa tahun setelahnya--dan selamanya--cowok itu akan memiliki tempat yang sangat khusus di hati Rahni sebagai cinta pertamanya.

Cowok itu bernama Rama.

*

Aceh, 2015

 "Abaaaannnggg!"

Seorang gadis kecil dengan seragam putih-biru berlari girang ke arah Rama. Begitu sampai, Ina--gadis kecil yang memanggilnya tadi--langsung duduk di boncengan motornya.

"Langsung pulang, kan?"

"Ayok, lah. Adek juga udah capek, pengen tidur," ujar Ina sambil mengencangkan pelukannya pada sang abang. Rama langsung mengarahkan motornya menuju rumah.

Dalam perjalanan pulang, kendaraan mereka lewat di sebuah rumah putih dengan pekarangan luas yang ditumbuhi pohon jambu, pohon kedondong, pohon mangga dan beberapa bunga yang tidak ia ketahui namanya. Di rumah itu, beberapa tahun yang lalu, akhirnya ia bisa bertemu kembali dengan seorang teman dari masa lalu. Saat itu, Rama sedang menyetir motornya ketika ia mendengar namanya dipanggil. Suara seorang cewek yang berasal dari depan rumah putih ini.

Ketika mendengar suara yang cukup keras itu, Rama serta merta menoleh. Pandangannya terfokus pada sang pemilik suara. Ada sebentuk perasaan aneh yang melingkupi hatinya, entah apa. Hingga tanpa sadar, Rama menghentikan motornya tepat di depan gadis itu.

Rama dapat melihatnya: senyum canggung, sedikit malu-malu. Karena dirinya juga memberikan bentuk senyuman yang sama. Dengan suara bergetar, gadis itu berkata, "Apa kabar?"

"Baik, alhamdulillah. Lagi liburan, ya?" Itulah jawabannya pada saat itu, yang disusul dengan pertanyaan penuh basa-basi. Walau begitu, cewek itu membalasnya dengan ramah.

"Iya, nih. Kan libur kenaikan kelas cukup lama. Masa' mau di Semarang terus. Kangen sama masakan Aceh, hehe..." gadis itu membetulkan letak jilbabnya. "Gimana sekolah asrama? Enak? Kejam gak?"

Rama tertawa kecil. "Gak seserem yang diceritain orang-orang, kok."

"Bagus, lah..."

Ada hening yang agak canggung disana. Rama tidak dapat mendeskripsikannya saat itu. Aneh. Padahal, mereka sudah menjadi teman sekelas sejak lama. Sejak SD--walau sempat tiga tahun beda kelas sebelum akhirnya kembali sekelas saat SMP selama tiga tahun lagi.

Padahal, mereka pernah berada dalam suatu masa yang penuh dengan keakraban. Namun kini... Semuanya hanya penuh dengan kecanggungan. Suatu hal yang sangat disayangkan.

"Ngg... Aku lanjut jalan dulu, ya," Rama akhirnya berkata memecah kesunyian. Saat menatap wajah di hadapannya, Rama sempat menangkap sebentuk ekspresi--mungkin kecewa--yang langsung berganti senyuman.

"Eh, iya. Sori, sori, aku ganggu."

"Santai."

Rama dan Ina telah sampai di rumah. Adiknya itu langsung berlari menuju kamar tidur, sementara ia masih membeku di teras.

Sambil meyakinkan diri sendiri, bahwa tidak ada keputusan di masa lalu yang membuatnya menyesal.

*