Halo mas mantan, apa kbr? Ak lg di kotamu nih & sangatsangatsangat bth bantuan dr km. Segera! Kita ktmuan di stasiun jam 4 sore, ya!
–Bila–
|
Siang ini sangat damai, dimana sinar
matahari tidak terasa begitu menyengat, angin berhembus lembut. Bahkan jalanan
tidak dipenuhi oleh berbagai jenis kendaraan bermotor, membuat dunia serasa
lebih sunyi dari biasanya dan udara terasa lebih bersih dari sebelumnya. Namun
kedamaian di siang ini runtuh setelah sms itu tiba. Setelah membaca sms itu,
dunia rasanya tiba-tiba di mute sehingga
terasa benar-benar bisu, lebih bisu daripada yang mungkin dapat dirasakan.
Itulah yang sedang terjadi pada dunia
gue yang damai. Lantas, apalagi yang harusnya terjadi ketika seorang mantan
yang sama sekali nggak pernah terdengar kabarnya selama empat tahun, tiba-tiba
menghubungi dan minta ketemuan? Walaupun dulu pisah dengan cara yang... nggak
buruk, sih, tapi juga nggak bisa dibilang sebagai perpisahan yang baik. Ah...
Kemunculan yang mendadak gini. Gue harus gimana?
Sms ini... Dilihat dari susunan katanya
sih emang kata-kata Bila banget, karena pas jadian dulu, Bila pernah berkata
seperti ini.
“Jangan protes, ya. Panggilanmu sekarang ‘Mas
Pacar’. Kalo kita nikah nanti, kamu naik pangkat jadi ‘Mas Suami’. Kalo kita
putus, tapi ini amit-amit deh yaa, pangkat kamu turun jadi ‘Mas Mantan’. Okee,
Mas Pacar?”
Kenpa, Bil? Kenapa harus muncul
sekarang? Dan kenapa, kenapa harus ketemuan di stasiun? Buat ketemuan sama lo
aja rasanya sulit, apalagi kalo harus ketemuan di tempat yang penuh kenangan
seperti itu... Kenapa?
Baru kemudian gue sadar. Konyol. Ini
benar-benar konyol. Usaha gue selama empat tahun runtuh seketika karena sms
seperti ini. Kenapa, Bil? Ternyata kenangan itu bukannya menghilang dari hati
gue, tapi cuma sembunyi. Dan tempat persembunyiannya terlalu rapuh, sehingga
sedikit goncangan seperti ini bikin
tempat persembunyian itu seketika runtuh, menampakkan kembali segalanya. Segalanya. Rasanya sangat berat...
Masih ada waktu dua jam lagi sebelum
waktu yang udah lo tentuin buat kita ketemuan. Gue harus bagaimana, Bila?
*
Halo mas mantan, apa kbr? Ak lg di kotamu nih
& sangatsangatsangat bth bantuan dr km. Segera! Kita ktmuan di stasiun
jam 4 sore, ya!
–Bila–
|
Sudah terkirim. Akhirnya pesan itu
terkirim juga, setelah selama seminggu ini hanya tersimpan sebagai draft. Ah... Aku menghela napas, berat
dan dalam.
Mau bagaimana lagi? Cepat atau lambat,
aku memang harus menghubungimu. Cepat atau lambat, kamu harus membantuku
menjernihkan semua kebingungan yang kurasakan selama empat tahun silam. Demi
kebaikanku. Bukan... Bukan hanya aku. Demi kebaikan kita, lebih tepatnya. Kuharap begitu.
Hanya ini. Hanya saat inilah
satu-satunya kesempatan untuk kembali memperbaiki segalanya. Masa depan yang
tak diharapkan itu masih dapat terelakkan. Kamu pasti paham, aku yakin kamu
pasti mengerti. Dan juga... Mas Tirta yang kukenal pasti akan bisa menerima
dengan hati yang lapang.
Aku tahu, saat kamu membaca pesan itu,
hatimu pasti kembali terasa sakit. Aku juga tahu, kamu pasti akan sangat
menyesali dan mengutuk diriku yang mengajak kita bertemu di stasiun. Bukan, Mas,
ini semua bukan hanya untuk membangkitkan kenangan. Pertemuan ini memang harus
terjadi di stasiun. Tempat dimana segalanya bermula. Tempat dimana pertemuan
dan perpisahan dapat terjadi begitu saja. Tempat dimana bias semua perasaan
menyatu. Stasiun kereta.
Setelah menegarkan hati dan pasrah atas
apapun yang akan terjadi dua jam lagi, kuayunkan langkahku menuju Stasiun Semarang
Tawang.
*
Kenangan
Tirta, pertemuan lima tahun silam...
Bukan hal yang mudah buat gue tinggal
kota ini. Malah sesungguhnya gue benci. Banget! Semuanya pergi. Semuanya
ninggalin gue gitu aja, nggak peduli sama sekali dengan pendapat gue. Seakan
gue nggak ada. Seakan gue sampah yang siap untuk dibuang.
Satu-satunya tempat yang bikin gue betah
hanyalah tempat ini. Stasiun Semarang Tawang. Thanks banget kepada Polder Tawang yang telah dengan sempurna
mencerminkan kemegahan bangunan tersebut dipermukaan airnya yang berkilauan,
sehingga membuat pesona kecantikan arsitektur bangunan tersebut meningkat
berkali-kali lipat di mata gue. Yang bisa bikin gue merasa nyaman, dan
melupakan semua kemuakan yang mengungkung jiwa.
Setelah membeli tiket peron, gue
langsung masuk dan mencari posisi yang pas untuk duduk. Iya, hanya duduk
diantara orang-orang yang lalu lalang dengan segala berbagai ekspresi. Ada yang
tersenyum bahagia, ada yang merengut sedih, ada yang berurai airmata. Ada yang
menyambut kedatangan, ada yang melepas kepergian. Disini, segalanya terlihat
wajar. Silakan berekspresi seperti apapun, semua orang akan memakluminya.
Karena ini adalah stasiun kereta.
Kedamaian semacam ini yang selalu
menarik gue untuk datang kesini. Lagi, lagi, dan lagi...
*
Stasiun Semarang Tawang. Satu setengah
jam lebih awal daripada waktu yang dijanjikan. Sengaja, karena ini bukan
pertemuan yang mudah buat gue. Semuanya butuh persiapan, terutama hati.
Setelah turun dari mobil yang sudah
terparkir sempurna, sejenak... gue bingung harus menuju kemana. Segala sudut di
stasiun ini benar-benar penuh kenangan. Ketika gue bilang segalanya, itu
artinya benar-benar segalanya. Termasuk
parkiran ini. Juga tempat membeli tiket. Juga tempat makan di dalam stasiun.
Segala sudutnya adalah kenangan. Dan ini semua bikin gue frustasi. Karena semua
kenangan itu yang bikin gue sebisa mungkin tidak menginjakkan kaki di stasiun
ini selama empat tahun terakhir.
Setelah memejamkan mata sesaat, perlahan
gue mengedarkan pandangan ke segala penjuru stasiun dari parkiran ini.
Arsitektur bangunan salah satu stasiun kereta api tertua di Indonesia ini
sukses membuat mata siapapun yang memandang terpukau oleh keindahannya. Di
hadapannya langsung terdapat Polder Tawang yang tak kalah indahnya, yang airnya
berkilau karena sinar matahari. Cantik. Sangat cantik. Secantik senyumannya.
Hhh... Baiklah. Persiapan hati ini akan
dimulai dari sini.
*
Kenangan
Bila, pertemuan lima tahun silam...
Aku pusiiiing!! Rasanya persiapan UAS
kali ini bisa membunuhku. Guru-guru jaman sekarang makin kejam saja dalam
memilih dan menyuguhkan soal untuk murid-muridnya.
Kalau sudah pusing seperti ini, tempat
paling baik untuk melepaskan segalanya adalah... Iya! Tempat itu. Tempat dimana
apapun ekspresi yang kamu tunjukkan adalah wajar.
Baru sampai di depannya saja, aku sudah
merasa damai dengan suara khas yang terdengar beberapa saat sebelum diumumkannya
jadwal kereta yang akan berangkat maupun yang akan memasuki stasiun. Aku
sangaaat menyukai suara tersebut, seperti suara bel sekolah yang sering
kudengar di film-film animasi Jepang. Menginjakkan kaki di tempat indah ini
dengan seragam sekolah, aku merasa seperti siswi sekolahan di Jepang. Ah...
Benar-benar perasaan menyenangkan yang membuat nyut-nyut di kepalaku hilang
seketika.
Peron terlihat agak ramai hari ini.
Bangku-bangku panjang tempat menunggu pun terlihat penuh dan padat. Aku
menghela napas kecewa. Padahal aku ingin menghabiskan banyak waktu disini.
Tidak mungkin kan, sepanjang waktu aku hanya berdiri saja di ujung gerbang?
Saat aku berkeliling sekali lagi, ah!
Akhirnya ada bangku yang hanya diduduki oleh satu orang lelaki. Orang itu hanya
duduk dengan tangan disilangkan di depan dada, kepalanya tertunduk, dapat
dipastikan matanya terpejam. Hmm... Sedang menunggu kedatangan seseorang, kah?
“Permisi, ya...” Bisikku pelan. Yah...
Setidaknya aku tetap ingin menjaga norma kesopanan agar orang itu tidak kaget,
walau tidak kusuarakan keras-keras karena takut mengganggu. Saat duduk pun aku
berusaha sepelan mungkin. Namun, orang itu tidak memberikan reaksi apapun. Pasti,
lah. Kepada orang asing seperti ini, reaksi apa yang kuharapkan?
Aku mulai membuka-buka novel yang
sengaja kubawa hari ini. Novel-novel yang tidak akan bisa kubaca di rumah di
minggu UAS seperti ini. Ibu pasti akan menyitanya. Benar-benar, deh...
Sepertinya Ibu masih menganggapku seperti anak SD yang tidak bisa
berkonsentrasi penuh dalam pelajaran karena membaca buku selain buku pelajaran.
Ibu selalu lupa bahwa sekarang aku sudah menjadi siswi kelas 2 SMA. Hufftt...
Stasiun kereta, novel, dan suara khas
itu... Perpaduan yang sangat pas untuk bersantai. Dalam sekejap, segala
hiruk-pikuk dunia seakan-akan tenggelam, dan akupun larut dalam kenyaman ini. Berbagai
macam suara manusia di sekitar terdengar samar. Lebay, ya? Tapi benar, selalu
itu yang kurasakan saat menghabiskan waktu disini.
“Uhuk... Uhuk...”
Aku menoleh. Orang yang duduk di sebelahku
sedang menahan batuk. Bahunya terguncang. Semakin lama batuknya semakin hebat
dan terlihat tak tertahankan, walau ia sudah mendekap mulutnya sendiri. Simpati,
aku langsung mengulurkan air mineral yang sengaja kubeli sebelum duduk disini.
Sepertinya orang itu sengaja tidak melihat ke arahku, atau memang keras kepala
dan tidak ingin menerima bantuan dariku.
“Ini, Mas. Belum saya minum, kok. Biar
nggak batuk lagi,” jelasku sabar. Kasihan juga karena orang itu tetap
batuk-batuk. Namun sebenarnya agak geli, karena melihatnya tetap berusaha tidak
mengacuhkanku. Dan lebih geli lagi karena pertahanannya akhirnya runtuh dan
menerima air mineral dariku.
“Thanks,”
ucapnya datar, tak berapa lama setelah batuknya reda. Aku hanya bisa tersenyum
geli karena orang itu kembali mengambil posisi tidur seperti sebelumnya.
Dan kali ini... Untuk pertama kalinya
perhatianku buyar. Diam-diam, aku mengamati wajah orang itu. Bening – maksudnya
tampan. Poninya tersibak ke depan karena wajahnya yang menunduk. Namun aku masih
dapat melihat wajahnya. Wajah yang bening dan tenang. Aku jadi teringat
peribahasa air tenang, menghanyutkan.
Orang itu bergerak, mengganti posisi
duduknya, membuatku dengan gugup langsung mengalihkan pandangan pada novel yang
kupegang. Diam-diam aku kecewa saat merasakan dirinya berdiri dari bangku yang
kami duduki bersama. Yah... kebersamaan kami hanya sebatas itu. Nggak jodoh
kali, ya.
Berhubung novel yang sedang kubaca ini
tidak terlalu tebal, aku bisa menyelesaikannya dalam waktu kurang dari dua jam.
Ternyata aku sangat betah duduk tanpa berpindah selama dua jam di bangku ini!
Tapi...
Kryyuukkk...
Rupanya perutku yang tidak betah! Segera
saja aku menuju salah satu tempat makan yang ada di dalam stasiun. Namun...
Kejutan! Saat aku memasuki tempat makan itu, saat itu pula “Wajah yang Bening
dan Tenang” bangkit dari kursinya dan berjalan keluar. Aku memasang senyum
ramah, berharap semoga saja dia mengingat wajah orang yang memberikannya minum
saat batuk tadi. Namun orang itu hanya berlalu begitu saja tanpa ekspresi, membuatku
kembali kecewa. Sudahlah, Bila! Teriakku
dalam hati. Langsung saja aku masuk dan mengalihkan pikiranku pada makanan enak
di depan mata.
*
Jam delapan malam. Tapi gue sama sekali
nggak punya keinginan buat pulang ke rumah. Bahkan bisa jadi kedatangan gue
nggak diharapkan. Apapun itu, terserah mereka. Gue udah nggak peduli.
Jam segini, di malam tahun baru seperti
ini, stasiun tetap terlihat rame dengan orang-orang yang menunggu. Menunggu
kedatangan, menunggu keberangkatan.
Malam tahun baru? Cih. Nggak ada bedanya
dengan malam-malam sebelumnya. Nggak akan ada bedanya tahun ini dengan tahun
sebelumnya ataupun tahun yang akan datang. Bagi gue semuanya sama, dan akan
selalu sama: terbuang.
“Permisi, ya...”
Cewek itu lagi. Masih dengan seragam SMA
nya. Masih dengan senyum ramahnya yang tersungging lebar. Cewek yang tadi
dengan baik hatinya nolongin gue yang tersiksa karena tenggorokan yang
tiba-tiba terasa gatal. Gue Cuma mengedikkan kepala, tanpa sedikitpun berniat
untuk bersikap ramah. Biarin aja.
Tapi... Kalo dipikir-pikir lagi, cewek
ini aneh. Udah jam segini, dan dia masih betah di stasiun?
Gue lirik dia yang lagi asyik membaca.
Kayaknya itu buku yang berbeda dengan buku yang tadi sore gue liat di
pangkuannya. Dia bisa menamatkan satu buah novel dan lanjut membaca novel
lainnya dalam keadaan rame suara manusia seperti ini? Hebaaat...
Pengeras suara di stasiun membunyikan
suara khasnya, dan gue otomatis mengamati suasana di sekitar peron. Ketika para
penjemput berkumpul dengan wajah harap-harap cemas, wajah bahagia karena
sebentar lagi akan bertemu dengan siapapun yang keluar dari gerbong kereta yang
tiba. Gue senang melihat orang-orang yang mengekspresikan perasaan menyambut
dengan sukacita itu.
Pandangan gue jatuh kepada orang yang
duduk di sebelah gue, yang telah menutup bukunya dan mengadahkan kepalanya ke
atas dengan mata terpejam. Rambut panjangnya tersibak ke belakang, membuat
wajah manisnya terlihat jelas. Sebentuk senyum indah juga menghiasi wajahnya,
bentuk senyum yang bikin gue ingin ikutan senyum. Bentuk senyum yang memberikan
perasaan nyaman, seperti stasiun kereta ini.
Untuk beberapa saat, gue terpana pada
orang asing.
Begitu suara bel tersebut berakhir, mata
cewek itu terbuka, dengan senyum yang semakin mengembang. Tangan mungilnya
merapikan rambut untuk dikucir kuda. Kikuk, gue langsung mengedarkan pandangan
ke arah lain.
Setelahnya, bangku tempat kami duduk
hanya diisi kesunyian. Cewek itu asyik dengan novelnya, dan gue asyik melihat
pemandangan di stasiun yang sama sekali tidak pernah membosankan.
“Mmm... Permisi, Mas...” sapa cewek itu
pelan. Gue kaget, dan lantas menoleh. “Itu... tali tas saya...”
“Oh, iya. Sori, sori,” gue langsung
bergeser supaya dia bisa mengangkat tasnya. Cewek itu – lagi-lagi – tersenyum seraya
mengucapkan terima kasih. Kali ini, kalo gue nggak membalas ucapannya,
sepertinya gue bakal dicap nggak sopan.
“Sama-sama.”
Cewek itu memasukkan novelnya ke dalam
tas. Mau pulang, kah? Atau udah selesai dibaca? Wah.... Kalo emang udah selesai
dibaca, berarti cewek itu punya kecepatan membaca yang nggak bisa diremehkan.
“Masnya lagi nungguin orang, ya?”
Eh? Dia ngajak gue ngobrol? Gue noleh –
lagi. Dan ternyata dia hanya memasukkan novelnya ke dalam tas, kemudian duduk
menghadap gue dengan santai. Gue Cuma menggeleng sopan.
“Oh... Kirain. Soalnya saya udah ngeliat
Masnya daritadi sore, sih.”
“Kamu sendiri gimana?” Akhirnya gue
nggak tahan untuk ikut bertanya balik. “Kamu juga dari tadi sore disini terus.”
Cewek itu tertawa geli, jelas bikin gue
heran. “Kirain Masnya nggak ngeh.
Hihihihi...”
Begitulah. Basa-basi kecil ini bikin gue
dan dia ngobrol gitu aja. Ngalir gitu aja.
*
Siapa yang menyangka ternyata aku dan
Tirta – nama orang itu – bisa mengobrol segini santainya? Hingga tak terasa
sudah jam sebelas malam. Aku tidak ingin pulang, dan aku memang sedang ingin
menghabiskan malam di luar. Maaf ya, Bu, Bila sudah berbohong dan berkata akan
merayakan tahun baru bersama teman-teman.
Eh, ralat deh, Bu. Bila tidak berbohong,
kok. Bila sepertinya memang akan merayakan
tahun baru, bersama seorang teman
baru. Teman dengan “Wajah yang Bening dan Tenang” bernama Tirta. Maaf ya, Bu...
Tapi, kesempatan seperti ini memang sangat langka.
Tentu saja. Siapa yang menyangka bahwa
ada orang selain diriku yang hobi menghabiskan waktu di stasiun tanpa batas
waktu seperti itu, seperti diriku? Bahkan teman-temanku saja langsung bosan
saat aku menceritakan hal ini pada mereka. Ketika akhirnya aku menemukan orang
yang memiliki hobi yang sama denganku, orangnya asyik pula, bagaimana mungkin
aku tinggalkan begitu saja?
Saat ini, setengah jam sebelum
pergantian tahun, aku dan Tirta sedang berjalan menyusuri Polder Tawang. Walau
Tirta tidak banyak berbicara, tapi aku tahu kalau dia asyik. Karena setiap kata
yang keluar dari mulutnya selalu menarik. Karena dia tidak merasa terganggu dengan
kecerewetanku. Karena dia selalu menanggapi ceritaku dengan ekspresi yang pas.
Ah... Ternyata “air” yang satu ini bisa menampakkan riakya juga.
“Limabelas menit lagi tahun baruuuu!”
Pekikku girang. Tirta hanya diam dan memandang stasiun di depan kami.
“Kamu nggak suka tahun baru?” Tebakku,
asal saja.
“Nggak,” jawabnya mantap. “Semua tahun
sama aja.”
“Nggak,” bantahku, tak kalah mantapnya. “Tahun
ini bisa jadi beda.”
“Kok?”
“Berapa banyak orang yang punya hobi
seperti kita ini, sih?” ujarku dengan antusiasme yang tak dapat disembunyikan. “Langka
lho, langka!”
Entah dia dapat mengerti maksudku atau
tidak, namun... Sepertinya Tirta paham. Apapun yang membuatnya memiliki hobi
seperti ini, apapun yang membuatnya memasang wajah tanpa ekspresi, serta apapun
yang membuatnya tidak bersemangat seperti itu... Rasanya ingin kuhapuskan itu
semua. Aneh memang, mengingat ini adalah pertemuan pertama kami.
Tetap saja, hati mana pernah berdusta
sih, untuk hal-hal yang seperti ini?
Kembang api membuncah dari segala
penjuru, menerangi langit Kota Lama Semarang dengan indahnya. Riuh rendah
masyarakat yang menyambut tahun baru terdengar menyenangkan. Dan aku... juga
ikut terhanyut dalam euforia tersebut.
“Selamat tahun baru, Mas Tirtaaaa!”
*
Sudah kutebak kamu akan datang lebih
cepat daripada waktu yang dijanjikan. Benar, kan? Aku terlalu pandai membaca
kamu. Dulu, dan sekarang. Dan ini... membuatku merasa lebih berdosa padamu.
Kamu saat ini duduk di bangku yang sama
dengan yang kita duduki lima tahun silam. Juga bangku yang sama yang kita
duduki saat kamu resmi menjadi “Mas Pacar”ku.
Menatapmu dari belakang seperti ini,
siluetmu itu... Ah. Wahai pemilik “Wajah yang Bening dan Tenang” yang kucintai,
bagaimana kabarmu sebenarnya? Bagaimana kabarmu setelah perpisahan kita empat
tahun silam?
*
Sebagai cowok, gue sadar kalo gue
terlalu rapuh. Terlalu membiarkan diri gue dikuasai oleh perasaan-perasaan lemah
seperti ini. Mau gimana lagi? Lo pernah bikin gue berani bangkit menatap hidup.
Lo pernah – untuk pertama kalinya dalam hiup gue – bikin gue merasa dibutuhkan,
merasa disayang. Lo pernah memberikan semua yang gue harapkan diberikan oleh
lingkungan gue. Dan ternyata lo pergi tanpa ngasih gue kesempatan untuk menahan
lo, tanpa ngasih gue kesempatan untuk melakukan apapun.
Kemudian lo balik lagi setelah semuanya?
Setelah kepergian lo empat tahun silam? Lo pikir semuanya masuk akal? Semua
kata-kata yang lo ucapin di bangku ini, Bila...
*
Kenangan
Bila, perpisahan empat tahun silam...
“Bilang kalo saat ini kamu lagi
bercanda, Bil.”
Nggak sanggup... Aku benar-benar tidak
sanggup mendengar suaramu yang seperti ini. Yang bergetar menahan emosi. Aku
hanya bisa menggelengkan kepalaku yang tertunduk, menghindari menatap wajahmu.
Kamu meninju tembok terdekat dengan
sekuat tenaga. Aku tahu, sakitnya pasti tidak sesakit hatimu saat ini.
“Dan apa alasan kamu? Coba bilang sekali
lagi apa alasan kamu?”
“Bila... Cuma nggak mau Mas Tirta
terluka –“
“EMANGNYA KALO DITINGGALIN BEGINI GUE
NGGAK BAKAL LUKA, BIL?! Enggak bakal?!”
“Setidaknya sakitnya hanya untuk saat
ini, Mas!” Aku memekik frustasi karena teriakannya yang sarat emosi. “Keputusan
ini juga berat buat aku, tolong ngertiin aku. Tolong...”
Dia tersungkur. Lelaki yang telah
menahan berbagai macam emosi di dadanya itu terduduk lemas. Luruh disana. Dan
aku hanya bisa tergugu menatapnya.
“Trus menurut lo...” katanya pelan,
dengan suara yang tidak bertenaga, “ngajak gue ketemuan hari ini, dengan membawa
koper besar, ngasih tau kalo... lo bakal pergi jauh, dan kita harus putus...
Ngasih tau semuanya beruntun dalam sekali waktu... Menurut lo ini nggak berat
buat gue? Bila, please...”
Aku berusaha merangkulnya sebagai
permintaan maaf, namun langsung ditepis olehnya.
“Justru karena itulah Bila melakukan ini
semua, Mas... Suatu saat Mas akan mengerti. Sakitnya hanya saat ini, dan Mas
Tirta pasti kuat. Bila percaya itu, Mas...”
Lelaki itu menatap mataku dalam-dalam.
Telaga bening mata itu, kini terlihat kosong. Aku tahu apa yang ia teriakkan
dari tatapan itu. Sebagai satu-satunya orang yang selalu mendampinginya selama
setahun terakhir ini, aku lebih dari sekedar paham.
“Maafin Bila, Mas...”
*
Stasiun
Kereta Tawang, 31 Desember 2013, 16.00 WIB.
Seseorang mengambil tempat duduk di
sampingnya dengan lembut. Mulanya Tirta membiarkan saja orang itu, namun
lama-lama ia jengah karena merasa diperhatikan. Serta merta Tirta menoleh dan
mendapati bahwa orang yang duduk di sampingnya adalah...
“Bila?”
Mustahil bagi Tirta untuk merupakan
wajah manis dengan senyuman yang berkilau indah seperti danau yang memantulkan
sinar matahari. Pemilik wajah manis itu telah tumbuh menjadi seorang wanita
yang tak kehilangan sedikitpun sentuhan keceriaannya di masa lampau, persis
seperti apa yang masih tersisa dari ingatan Tirta.
“Halo, Mas Mantan.”
Bahkan suaranya... Suaranya masih
terdengar renyah dan ramah. Suara yang membuat Tirta selalu merasa nyaman.
Selalu merasa bahagia. Selalu merasa dibutuhkan dan disayang. Suara yang telah
hilang selama empat tahun kini kembali lagi di hadapannya!
Tirta tidak pernah menduga bahwa dirinya
akan semudah ini terpana kembali menghadapi Bila, wanita yang telah memberinya
banyak luka dalam sekali waktu. Wanita yang meninggalkannya tanpa penjelasan
yang pasti, yang tak ada cara lain baginya selain menerima keputusan mereka
berpisah seperti itu.
Sedangkan Bila... Kalau saja saat ini
Tirta tahu, hati gadis itu sedang sangat membuncah oleh kebahagiaan karena
dapat melihat “Wajah yang Bening dan Tenang” milik Tirta. Si air tenang, menghanyutkan. Yang telah ia
tinggalkan begitu saja di masa lampau.
“Apa kabar, Mas?” ujarnya, memulai
dengan hal-hal ringan. Karena di masa lalu, seringkali perbincangan mereka
dimulai dengan topik yang ringan sebelum kemudian mengalir begitu saja. Tirta hanya
diam.
“Maafin Bila ya, Mas, karena baru bisa
hadir saat ini. Tapi, Bila juga mau mengucapkan terima kasih karena Mas mau
hadir. Bila sempat khawatir, Mas nggak bales sms dari Bila. Tapi ternyata, Mas
ada disini... Duduk disini...”
Gadis itu mendekap mulutnya sendiri untuk meredam tangis yang
rasanya menyesakkan. Nggak, Bil. Belum
saatnya.
“Mas... Kok diam?” tanyanya lagi, karena
hanya menghadapi kebisuan dari lelaki yang duduk di sampingnya. Sesaat
kemudian, ia paham. Luka yang ia berikan empat tahun yang lalu telah menancap
sangat dalam. Saking dalamnya, luka itu sanggup membungkam segala luapan amarah
dan sakit hati.
Namun justru, keterdiaman itu sendiri
merupakan refleksi hati yang paling menyakitkan yang dapat diperlihatkan.
Bila hanya bisa menghela napas, berat
dan dalam.
“Makasih ya, Mas... Karena tetap memilih
bangku ini. Bangku yang menjadi saksi semua yang pernah terjadi di antara –“
“Kamu,” Tiba-tiba saja Tirta bersuara,
memotong kalimat mantan kekasihnya. “mau saya ngebantuin kamu apa?”
Lagi, Bila menghela napas berat.
Pertanyaan yang langsung ke poinnya seperti ini bukannya tidak pernah
terpikirkan olehnya akan langsung ia dapatkan begitu mereka bertemu. Hanya
saja, keterdiaman Tirta di awal membuatnya seketika bingung harus mengatakan
apa.
Tia-tiba saja suara khas stasiun kereta
itu terdengar. Suara bel sekolah yang sering mereka dengar di film animasi
Jepang. Suara itu... Membuat keduanya terhipnotis. Suara itu membekukan mereka
kedalam kenangannya masing-masing. Dan didengarkannya suara itu dengan penuh
penghayatan.
“Nggak pernah, Mas, nggak pernah...”
Bila memulai kalimatnya, “nggak pernah sekalipun Bila berhenti menyesal karena
telah menorehkan luka di hati Mas Tirta. Saat itu, walaupun Bila sangat
memahami Mas Tirta, tapi Bila juga harus memenuhi tanggung jawab Bila sebagai
seorang anak. Bila pergi tanpa sebelumnya mendiskusikan dengan Mas Tirta,
semuanya demi kebaikan Mas sendiri. Apapun... Bila tau, apapun yang Bila
katakan sekarang hanya akan terdengar sebagai alasan-alasan tanpa makna.”
Tirta masih tetap diam dengan kepala
menunduk dan mata terpejam. Sulit untuk melihat riak hatinya saat ini.
“Bila... lusa akan dilamar.”
Akhirnya Bila mengatakannya. Seiring
dengan keluarnya pengakuan tersebut, dibiarkannya tangisnya sendiri pecah.
Sedangkan Tirta... Ia bingung. Sangat bingung dengan pengakuan mendadak ini.
Dan hatinya semakin ambigu saja.
“Sebelum menerima lamaran itu... Ah,
maafin Bila, Mas...”
Tirta akhirnya angkat suara dengan nada
yang sangat dingin. “Masih belum cukup, Bil? Berapa banyak luka lagi yang mau
kamu torehkan?”
Bukan
itu maksud Bila, Mas! Ingin rasanya ia
meneriakkan hal tersebut, namun mati-matian ditahannya. Cukup satu orang saja
yang menunjukkan emosinya ke permukaan pada hari ini. Cukup satu orang saja,
dan yang paling berhak untuk mengekspresikan hatinya. Hanya Tirta.
“Bila hanya ingin mengonfirmasi ini...” gadis
itu menggenggam lembut tangan lawan bicaranya, perlahan menuntun tangan
tersebut ke tempat dimana segala rasa membuncah. Tirta menatapnya dalam-dalam,
menuntut penjelasan lebih.
“Bila tau, Mas... Bila banyak sekali
menorehkan luka. Bila tau kalau Bila sangat egois, apalagi saat ini. Bila
sangat egois karena setelah semuanya, Bila masih tetap ingin mengetahui
bagaimana hati Mas Tirta sebenarnya setelah empat tahun berlalu. Maafin Bila,
Mas...”
Sudah. Cukup. Semuanya sudah diluar
batas. Tirta menepis tangan mungil itu dengan kasar, dan bangkit. Ia ingin segera
meninggalkan tempat itu, meninggalkan Bila.
*
Polder
Tawang, 23.00 WIB
Hiruk pikuk di sekeliling gue saat ini
sangat kontras dengan apa yang gue rasain. Hati gue... Kebas. Kebas karena
semua pengakuan Bila. Kebas karena sikapnya yang memang keterlaluan.
Cewek itu... Gimana mungkin cewek itu benar-benar
mengetahui apa yang ada di hati gue? Setahun lebih hubungan kami, empat tahun
terpisah, apa masih logis kalo dia masih mengenali pola hati gue?
Krta Bila
brngkt pkl 23.52.
Hati Mas
Tirta masih seperti dulu, kan? Tlg selamatkan Bila. Demi menyelamatkan hati
Mas. Tolong...
|
Sms kejam yang sampai beberapa saat
setelah gue ninggalin dia sendirian di peron itu telah terekam sangat baik di
memori gue. Gue harus gimana, Bil? Tolong...
*
Peron
Stasiun Semarang Tawang, 23.50 WIB
Jadi... seperti inilah akhirnya. Aku
harus mengikhlaskan semuanya. Terang saja, karena semuanya adalah salahku.
Salahku yang meninggalkannya di titik dimana ia sedang sangat membutuhkanku di
sampingnya. Salahku yang menorehkan begitu banyak luka di hatina. Salahku juga
yang tetap saja menuntut lebih, setelah semua yang telah kulakukan dalam
hidupnya. Dia, si pemilik Wajah yang Bening dan Tenang itu, sangat berhak untuk
protes dan tidak meluluskan permintaanku sama sekali.
Aku tahu itu... Dan saat mengambil
langkah ini, aku sudah siap dengan hasil akhirnya. Siap mengetahui bahwa
hatinya tak sanggup untuk memaafkan. Siap mengetahui bahwa hatinya ternyata tak
sanggup mengenyahkan rasa sakit itu. Siap mengetahui bahwa, mengikhlaskannya
adalah satu-satunya cara agar kami,
di masa depan nanti, dapat menjalani kehidupan kami masing-masing dan berbahagia. Dan stasiun kereta ini merupakan
simbol yang paling tepat untuk segala pertemuan, juga... perpisahan abadi.
Untuk terakhir kalinya, kuedarkan
pandang sekali lagi ke segala penjuru stasiun yang telah menjadi saksi bisu
perjalanan kisah cintaku. Sungguh... Aku tidak akan melupakan tempat ini, yang
sampai kapanpun akan menjadi tempat spesial di hatiku, di hidupku. Sekarang
saatnya aku pergi...
Ketika tiba-tiba saja tangan hangat itu
menggenggam lenganku dengan sangat erat.
-Selesai-
(Cerpen ini dibuat dalam rangka mengikuti lomba #NulisKilat yang diselenggarakan oleh Bentang Pustaka dan Plotpoint)