Pages

Sunday, August 9, 2015

Ini yang Terakhir

Ada yang hatinya sedang tidak tenang karena disapa oleh masalalu. Sapaan yang berisikan maaf, entah atas kesalahan seperti apa yang dulu pernah terjadi. Kira-kira, bagaimana caranya menanggapi sapaan tersebut?

Ia menanggapinya persis seperti lirik lagu yang terkenal beberapa tahun yang lalu, diam tanpa kata.

Kenapa harus diam? Kenapa harus tanpa kata, tanpa tanggapan?

Paham, kok. Luka hati tidak akan bisa sembuh secepat menyeduh mie gelas. Hanya saja, semuanya tetap mengherankan. Bukan menyelesaikan masalah, mana menambah daftar pertanyaan baru. Yang paling mendesak, yang paling membutuhkan jawaban adalah: sebenarnya mau kamu apa, sih?

Yang diketahui dengan sangat pasti, itu pula pertanyaan yang sangat ingin ia lontarkan.

*

Sebagai maslalu yang seharusnya berada di belakang, apa mauku?

Simpel.

Seperti yang kamu ketahui dengan pasti, aku bukanlah orang yang suka tiba-tiba saling menghilang dalam situasi hubungan antarmanusia yang buruk. Entah itu karena kesalahanku, atau kesalahan pihak seberang, jika itu demi memperbaiki hubungan yang sempat menegang, aku akan menundukkan kepala duluan. Demi membaiknya suatu hubungan silaturahmi. Kalaupun pada akhirnya harus putus kontak, itu hanya terjadi secara alami karena faktor jarak dan intensitas komunikasi, bukan karena masalah.

Itu pula yang, setelah bertahun-tahun aku membiarkan suasana dingin ini tetap beku, yang akhirnya membuatku menyapamu kembali. Meminta maaf darimu. Dengan ketetapan hati, bahwa ini yang terakhir. Bahwa setelah ini, bagaimanapun tanggapan darimu, I'm cool dan akan terus berjalan ke depan, tanpa menoleh.

Aku heran. Dua kali kamu melakukan hal yang sama. Dua tahun lalu, dan... Sekarang. Aku hanya ingin tahu: kenapa?

Aku selalu berharap...
Jika kamu ada masalah, datanglah padaku. Walau sebenarnya, akulah sumber masalahmu itu. Tapi tak mengapa. Cukup datang saja padaku, ceriatakan saja, dan kita cari pemecahannya bersama.

Pun jika kamu merasa lelah, bersandarlah padaku. Walau bisa jadi, kamu terlalu lelah menghadapi aku. Biarlah. Duduk saja di sampingku, rebahkan kepalamu di bahu, dan... Istirahatlah. Tenang saja, lah.

Atau jika kamu merasa kesepian, panggillah aku. Walau bisa jadi, akulah yang menjadi penyebab hatimu terasa kosong. Nggak masalah, tetap panggil aku. Dan kita akan tertawa bersama, membunuh sepi bersama, menghalau semua rasa yang tidak mengenakkan bersama-sama.

Dari dulu sampai sekarang, apapun bentuk hubungan kita, aku ingin menjadi orang yang seperti itu untukmu.

Ralat, bukan hanya untukmu. Untuk semua orang terdekatku. Untuk semua yang kusayangi. Kamu, memang termasuk di dalamnya.

Tapi, kalau kamu tidak ingin menerima uluran tanganku, dua kali, pula... Aku bisa apa?

Karena sikapmu seperti ini sudah diperkirakan, makanya kutetapkan sejak awal.

Ini yang terakhir. Akhir dari segalanya.

Silakan hidup tenang. Dan, tetap... Maaf lahir batin :)

No comments: