Pages

Thursday, May 19, 2016

Sepotong Kisah yang (Baiknya) Disembunyikan

Ruang keluarga rumahku di malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, diramaikan oleh suara dari televisi yang menayangkan sinetron kesukaan sulungku. Dasar, jiwa remaja. Matanya selalu membulat penuh fokus ketika artis favoritnya muncul. Aku sangsi anakku mengikuti jalan ceritanya—atau dia memekik karena sang artis dan jalan cerita klise itu? Entahlah.

Sementara putriku sibuk menonton, aku sibuk dengan ponsel pintar—mengecek jam terakhir suamiku melihat whatsapp. Suamiku sedang dinas ke luar kota dan baru pulang besok pagi dengan penerbangan pertama. Sekarang sudah hampir jam 10 malam dan sudah 2 jam suamiku tidak mengecek ponselnya.

"Waaaahhhh, so sweet!" Sulungku memekik girang.

"Kakak, jangan teriak-teriak, ah. Udah malem."

Masih dengan senyum lebar, ia berujar, "Maaf deh, Bun. Kelepasan, hehe. Bunda liat nggak, adegan yang tadi? Romantiiiis!"

"Nggak liat, tuh," godaku, membuat senyum lebar di wajahnya berubah manyun. Aku tertawa kecil. Putriku ini begitu ekspresif. Senang sekali melihat segala perubahan air mukanya.

"Bun," katanya pelan, "Dulu, gimana reaksi Bunda waktu Papah ngajak Bunda nikah?"

"Hmm? Kenapa Kakak tiba-tiba nanyain itu?" Kutatap lekat wajahnya—yang kini kembali tersenyum.

"Yaa... kepo aja. Gara-gara liat adegan di sinetron tadi," dia terkikik kecil. "Jadi gimana, Bun?"

Aku menatapnya, putri sulungku yang sedang beranjak dewasa. Berpikir keras tentang jawaban seperti apa yang harus kulontarkan atas pertanyaannya.

"Bun?"

"Iya?"

"Jawab, atuh..."

"Hmm... Waktu Papah ngelamar, Bunda... menangis."

"Ciyeee," dia terkikik geli. Mungkin imajinasinya sudah meluncur entah kemana, menerka-nerka seromantis apa kejadiannya sampai aku menangis. Entahlah. Aku tak tahu, karena sebelum dia bertanya lebih jauh, kusuruh dia untuk tidur.

"Selamat tidur, Bunda."

"Selamat tidur, Sayang."

***

16 tahun yang lalu...

Aku tak tahu bagaimana caranya supaya airmata ini berhenti keluar. Capek rasanya menangis terus, menangis lagi dan lagi.

Tapi tak bisa. Ini semua rasanya nggak adil, tapi aku nggak bisa melancarkan protes. Apalagi menolak!

Perjodohan yang sungguh konyol. Aku tidak diijinkan untuk memilih mana di antara kedua anak lelakinya Oom Herman, temannya Ayah, yang ingin kujadikan suami. Padahal semuanya sudah tahu bahwa aku dan Dimas "dekat", namun Ayah dan semuanya malah menjodohkanku dengan Dhani—kakaknya Dimas—dengan alasan yang begitu konyol. Alasan konyol yang nggak masuk akal dan membuatku semakin frustasi saja: faktor usia. Konyol!

Maka, ketika Dhani melamarku secara resmi, di hadapan seluruh keluarga besar, yang dapat kulakukan hanyalah menangis. Menangis. Dan terus menangis. Yang jelas bukan tangisan kebahagiaan.

Oh, Dimas juga ikut menangis—diam-diam.

***

"Halo, Pah..."

"Bunda belum tidur?"

"Sebentar lagi. Papah baru selesai rapatnya jam segini?"

"Baru selesai makan malam sama klien."

"Istirahat, Pah. Besok pesawat pagi, kan? Jangan sampai kesiangan."

"Bunda juga istirahat, gih."

Setelah sambungan telepon terputus, aku jadi sedikit lebih lega. Lega karena mendengar suara suamiku—Dhani. Pria yang begitu sabar menungguku untuk jatuh cinta padanya. Pria yang begitu sabar merawat keluarga kecil kami. Pria yang menawarkan kebahagiaan dengan segala sikapnya.

Dan aku telah terbiasa dengan itu semua. Terbiasa dengan cintanya. Terbiasa menerimanya.

Putriku tak perlu tahu mengapa aku menangis. Biarlah dia memiliki khayalannya sendiri tentang aku dan suamiku di masa lampau. Tangisanku dulu, suamiku telah menebusnya dengan kebahagiaan. Penyesalanku dulu, telah diubahnya menjadi syukur yang tak pernah putus disampaikan.

***


(Dituliskan untuk diikutsertakan dalam #NulisBarengAlumni #KampusFiksi #KF15)

No comments: