Pages

Monday, May 23, 2016

Kenapa Bisa Suka?

Hari ini ke Gramedia Merdeka. Entah kenapa kaki langsung menuju bagian sastra duluan dan bukannya naik ke lantai khusus novel. Akhir-akhir ini lagi suka banget sama puisi, menikmati baca puisi, dan masih tetap payah dalam menulis puisi, hiks. Dari sastra, mampir ke customer service buat cek poin. Ah, udah bisa tukar voucher belanja! Lumayan, bisa beli satu buku tanpa keluar duit hohohoo. Trus makan. Trus baru balik ke kosan dan membongkar buku yang dibeli.

Ritualnya:
1. Meraba buku baik-baik, mengagumi setiap lekuknya. Membaca ulang blurbnya. Berulang-ulang,
2. Mencabut label harga di sampul plastik dengan sangat hati-hati,
3. Membuka plastik pembungkus dengan deg-degan antusias,
4. Menuju halaman buku paling akhir (cover bagian dalam) untuk menempel label harga yang tadinya ada di plastik buku.

Kegiatan nomor 4 mungkin agak aneh. Untuk apa ditempel di belakang, disimpan begitu? Hanya barcode gitu doang, kok.

Entahlah. Cuma suka melihatnya. Juga suka melakukannya.

Tapi kenapa?

Dan tadi berpikir keras, berusaha menemukan jawabannya. Namun.... gagal. Tak ada jawaban yang benar-benar pas selain, "Ya karena aku suka."

Lantas, kesadaran itu menampar dengan tiba-tiba. Ada pemahaman yang seketika merasuk dengan begitu ringannya. Ah, ternyata begitu makna dari "suka tanpa alasan".

Begitu sederhana, begitu polos.

Kalau ada alasan yang diberi, akan selalu ada bantahan yang mengikuti. Biasanya pengandaian jika: yang terjadi adalah kondisi sebaliknya, apa masih akan tetap suka? Atau malah murka?

Konsep menyukai manusia—oke, lawan jenis—ternyata bisa dinalar seperti itu. Sering ketika kita merasa menyukai seseorang, rasa suka itu datang tiba-tiba saja. Tanpa disadari sejak kapan dimulainya. Tanpa ada alasan pasti mengapa bisa jatuh hati.

Adanya alasan yang dibuat hanya sebagai bentuk penguatan, pembenaran, pengukuhan. Baiknya memang tak usah dipaksakan, karena bisa memicu kesakitan. Bagus saja jika untuk melatih hati untuk siap atas konsekuensi menyukai. Siap untuk menghadapi segala "bagaimana jika...?" yang akan begitu banyak bergulir. Baik jika itu membuat semakin siap untuk menerima segala lebih dan kurangnya yang melekat pada si kesukaan.

Dan ini tiba-tiba banget jadi ingat tentang orang itu, yang dulu—waktu masih berstatus pacar—memaksa aku untuk menyebutkan alasan kenapa bisa menyukainya. Dia yang biasa-biasa saja. Dia dan segala kekurangannya yang begitu banyak. Aku bingung, dia tetap memaksa. Kucari-cari dan... mungkin bisa dibilang ketemu. Bisa memuaskan hatinya. Namun tetap kukatakan, "Terlepas dari semua itu, ya pokoknya aku suka kamu. Entah sejak kapan. Entah karena apa. Aku suka semua tentang kamu."

*nggak boleh baper*

Sama seperti kebiasaan menempel label harga itu. Aku lupa kapan dimulainya. Kapan menjadi terbiasa. Kapan menjadi benar-benar suka. Kapan akhirnya mengalami patah hati pertama karena tidak dapat menempelkan barcodenya di cover belakang bagian dalam—entah karena labelnya rusak, atau karena covernya terlalu bagus coraknya. Semuanya terjadi begitu saja. Dan aku menyukainya.

Kenapa bisa suka? Entahlah.

No comments: