Pages

Saturday, May 28, 2016

Silakan Nilai Sendiri

Di sela-sela nonton dan ngemil, tangan terulur menjangkau hape untuk melihat pengumuman penerimaan murid baru SMA yang dituju adik bungsu. Ternyata dia keterima. Alhamdulillah. Berarti, Rahmat mendaftar di empat sekolah. Satu gagal, tiga lolos. Yang diambil yang pengumumannya baru keluar hari ini: SMA Fajar Harapan, Banda Aceh.

Lantas pikiran melayang ke masa lalu. Masa ketika sedang mencari SMA. Daftar ke Taruna Nusantara, tapi nggak jodoh.
Aku lupa daftar SMA mana lagi—selain TN dan Sukma Bangsa Lhokseumawe. Aku lupa apa pernah coba daftar ke sekolah di Banda Aceh atau nggak. Yang kuingat, aku tiba-tiba berangkat ke Semarang dengan niatan awal mendaftar ke SMAN 3. Setelah liat nilai dsb dsb, akhirnya diputuskan untuk mendaftar ke SMAN 5. Dan keterima. Bayangin, betapa senengnya aku ketika akhirnya bisa sekolah di luar Aceh—no offense, kala itu cita-citaku memang untuk bisa masuk SMA di luar daerah Aceh. Karena ada begitu banyak mimpi yang ingin kuraih. Walau cuma 1,5 tahun bersekolah di sana, namun aku bahagia. Setidaknya, aku berhasil meninggalkan kesan yang positif di hati para guru, teman seangkatan, senior—sepertinya, sih. 

Pernah entah kapan, aku dan orang di masa lalu berbincang. Agak nggak enak, sih. Aku agak tersinggung. Dia bilang, sebagian besar anak SMAN 5 adalah buangan dari SMAN 3—maksudnya orang-orang yang menjadikan smaga pilihan pertama namun nggak masuk, dan akhirnya masuk ke smala yang merupakan pilihan kedua mereka setelah smaga, dengan pertimbangan karna smala dan smaga itu gedungnya bersebelahan. Orang itu membanggakan smapa—SMAN 4, sekolahnya—karena yang masuk situ kebanyakan memang menjadikan smapa sebagai pilihan pertama dan bukan alternatif dari mana pun karena 1) smapa tidak bertetangga dengan sekolah negeri mana pun, 2) aku lupa alasan nomor dua apaan.

Well, itu jahat, sih. Walau mungkin saja itu kenyataan, tapi tetap jahat untuk diungkapkan. Karena nyatanya—setidaknya ketika aku masih di smala—kami gak kalah dengan sekolah tetangga. Kami mampu bersaing. Kami pintar, kami menang kompetisi, OSIS kami kece, tim paskib kami kece, dan masih banyak hal kece yang dimiliki oleh smala. Perkara pilihan satu atau dua, terserah. Selama pada akhirnya bisa bersekolah. Bisa mengukir prestasi. Stereotip seperti itu, tolonglah. Aku bangga, pernah menjadi bagian dari smala. Dengan guru yang hebat, dengan teman yang dahsyat.


Balik ke Rahmat, aku senang dia bisa diterima di salah satu sekolah favorit di Banda Aceh. Semoga dia betah—dan harus. Dia harus betah, harus kuat, jangan sampai hal yang buruk terjadi. Jangan sampai pindah sekolah, karena pindah itu nggak enak. Bukan masalah standar sekolah dsb. Tapi, yah...

Pada akhirnya, tidak peduli kamu sekolah di mana, latar belakang memilih sekolah itu karena apa, bagaimana kamu lulus, dsb dsb. Pada akhirnya, yang menentukan segalanya adalah kamu, sang alumnus. Aku bukan alumnus smala. Aku alumnus sekolah biasa di daerah rumahku. Namun aku yang sekarang, yah...

Silakan nilai sendiri.

No comments: