Pages

Thursday, June 21, 2012

Tentang 20 Juni

Hmmm... Seharusnya, hari ini menjadi hari yang spesial. Seharusnya, sih. Kalau saja semua berjalan baik-baik saja, adem ayem, tenang, tenteram, damai.

Nyatanya kan, tidak seperti itu. Hmmm...

Ya sudahlah, sudah menjadi sejarah. Sepertinya memang sejarah, yang gak bakal bisa terulang, atau dicoba untuk diulang. Ah, bahasanya semrawut banget.

Masih ingat kan, bagaimana saya hobi banget mengingat hal-hal yang seharusnya gak usah diingat-ingat lagi? Bagaimana saya begitu suka membiarkan imajinasi saya menari-nari terhadap segala kenangan indah di masalalu? Dan itu termasuk mengingat apa yang pernah terjadi di tanggal 20 juni.

Tiga tahun silam, sebelumnya, saya hanyalah seorang gadis kecil yang pada akhirnya terbiasa memaklumi diri sendiri yang selalu merasakan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Selalu. Saya terbiasa mengagumi seseorang, menyukai seseorang, namun hanya sebatas itu. Hanya sebatas mengamati dari jauh, tanpa pernah bertindak lebih, berusaha lebih, apalagi mengharap lebih. Bagi saya, bisa ngobrol dengan bebas dan lepas aja sudah sesuatu yang patut disyukuri. Kalo saya menginginkan hal lebih, rasanya egois banget dan gak pantes banget. Lagipula, pikiran saya terlalu jauh ke depan kalo harus sampe merasa perlu memperjuangkan perasaan saya.

Dulu, di jaman cinta monyet banyaak bersemi di hati teman-teman SD dan teman-teman SMP, memang di awal mereka keliatan seneeeng banget. Selalu menceritakan kebaikan pacarnya, memuji, telponan, sms-an gak kenal waktu, dan seluruh waktunya hanya tercurah untuk pacar. Tapi... setelah mereka putus? Liat aja, kebanyakan langsung berubah benci. Pujian berubah menjadi makian. Intensitas komunikasi langsung nol. Dari pasangan yang kemana-mana selalu bersama, berubah menjadi pribadi yang seakan tak pernah saling kenal.

Itu yang saya takutkan pada saat itu. Saya takut, banget, kalo misalnya saya mengalami hal yang serupa. Boro-boro harus sampe setelah jadian kemudian putus baru merasakan hal itu. Saya bahkan sering takut gebetan saya di masalalu menjauhi saya gara-gara tau perasaan saya ke dia seperti apa. Hiks. Ngenes banget, yaa... :-(

Bahkan sampai tiga tahun yang lalu, saya masih gak bisa percaya kalo orang yang diam-diam saya taksir bisa membalas perasaan saya, setelah melalui proses yang sangat panjang. Rasanya setelah gebetan tau tentang perasaan kita padanya dan dia gak menjauhi kita tapi malah menanggapinya dengan santai itu... menyenangkan. Bahkan dia bisa bikin saya gak harus merasa canggung untuk bertingkah dan berkata apa saja padanya. Pun ketika jadian. Yang menyedihkan justru karena kondisi setelah putus hubungan dengannya, itu sama persis dengan pengalaman teman-teman saya dulu. Hal yang saya takutkan benar-benar terjadi. Yang mana...

Setelah putus, putuslah semua hubungan, apalagi komunikasi. Itupun ketika untuk pertama kalinya saya berani mengakhiri hubungan kami, padahal semua orang tau banget sedalam apa perasaan saya untuk dirinya. Dan, ketika saya pada akhirnya tidak berhasil membawa dia kembali lagi, apalagi setelah mendapat pernyataan darinya kalo dia udah mati rasa terhadap apapun mengenai saya, udah gak ada sedikitpun rasa di hatinya untuk saya, saya cukup tau diri untuk... menjauh. Untuk tidak lagi mencoba menarik perhatiannya, atau curhat-curhat gak penting padanya. Saya menarik diri. Dia pun sepertinya begitu. Tau gimana rasanya? Menyedihkan.

Saya sakit, banget. Dia juga pasti merasa sangat sakit. Putusnya hubungan itu merupakan akumulasi dari kesalahan-kesalahan bersama, bukan hanya saya, bukan hanya dia, tapi kami. Dan yang paling saya sesali dari semua ini... Saya kehilangan bukan hanya seorang pacar, tapi juga teman, sahabat, tempat curhat, pemberi nasihat. Saya kehilangan seseorang yang mahal sekali.

Setiap mengingat 20 juni, atau hal indah lain tentang dirinya, saya sering berpikir... Apa dia juga mengenang semuanya? Apa dia bahagia? Apa pernah terlintas di pikirannya untuk kembali merasakan keindahan itu? Andai saya bisa tau keadaannya...

Satu yang pasti: Setiap saya mengenangnya, atau melihatnya di halaman social media, saya hanya berharap bisa langsung mengucapkan maaf di hadapannya. Bisa kembali akrab dengannya seperti di masalalu, saat interaksi di antara kami belum tercemar oleh rasa cinta.

Maaf...
Maaf...
Maaf...
Maaf...
Maaf...

No comments: