Pages

Sunday, February 7, 2016

Selamat Tinggal, Cinta

Bukan masa lalu yang ingin kubicarakan di sini.
Bukan juga kenangan tentang kita yang semakin mengabur ditimpa kenangan baru.

Aku hanya ingin menjalani masa kini dan menyapa masa depan dengan keikhlasan.

Ikhlas yang datangnya tak hanya dari hatiku, tapi juga... kamu.

***

Ini adalah tahun kelima yang kulalui tanpa ragamu berada di sisiku, paket lengkapku. Rasanya memang tak lagi menyesakkan seperti saat pertama kali kamu pergi. Lubang yang menganga di hati juga tak selebar saat terakhir kali aku menyentuhmu. Penyesalan pun tak lagi terus menghantui sesering minggu-minggu awal perpisahan kita.

Namun tetap saja... semuanya tetap saja....

"Kamu tenang saja di sana," bisikku seraya menatap tempatmu beristirahat. "Kamu tak perlu terus-terusan hadir hanya untuk membuatku selalu mengingatmu. Tenang saja, karena kamu takkan pernah kulupakan. Walau ada beberapa kenangan kita yang telah menjadi samar karena keterbatasan ingatanku, tapi... kamu itu abadi."

Semilir angin yang dinginnya terasa hingga ke tulang seakan membisikkan suaramu yang terdengar frustasi, "Bagaimana bisa aku memercayaimu? Kamu hanya ingin aku pergi secepatnya agar dapat hidup damai dengan kekasih barumu itu. Kamu hanya ingin berbahagia sendirian dan memusnahkanku dari memorimu selamanya!"

Setelah sekian lama waktu yang kita lewati, dalam kebersamaan maupun perpisahan seperti ini. Dan kamu masih saja meragukanku? Bahkan ketika kukatakan bahwa kamu, paket lengkapku, akan selalu abadi di hatiku?

"Ikhlaskan aku, seperti aku merelakan kepergianmu bertahun-tahun silam. Toh, selama ini kamu sudah menyaksikan segalanya. Bagaimana aku menjalani hidup tanpamu. Betapa dulu aku ingin menyusulmu ke tempat itu. Tapi kamu selalu mencegahku, menyuruhku untuk lebih menghargai hidup. Dan, itulah yang mulai kulakukan. Kenapa kamu malah kalut? Bukankah, seperti aku yang selalu berdoa agar kamu berbahagia di alam sana, kamu juga ingin melihatku berbahagia menjalani hidup?"

Kualihkan pandangan dari gundukan tanah tempatmu beristirahat selama ini menuju ke satu titik di depanku--ke tempat dimana kamu berdiri dengan mata sendu. Pucat.

Angin kembali membawa suaramu--walau jelas sekali kulihat bibirmu tak bergerak.

"Justru karena aku ingin melihatmu berbahagia, makanya... ijinkan aku untuk tetap di sini. Menemani keseharianmu. Karena aku tak ingin dilupakan olehmu, apalagi setelah kamu mendapatkan penggantiku--"

"Tidak," potongku tegas. "Sudah kukatakan, aku takkan melupakanmu. Apa doa-doa yang selalu kukirimkan tak cukup untuk meyakinkanmu selama ini? Berdamailah dengan kematianmu, seperti aku yang telah berdamai dengan rasa sakit karena hal itu. Berdamailah...."

Ya, berdamailah. Kenyataannya, kita sudah berada di dimensi yang berbeda. Aku tak dapat memelukmu saat ini, bahkan ketika aku sadar bahwa kamu berada di hadapanku. Keberadaanmu di dunia ini hanya akan semakin menyakiti kita saja, paket lengkapku, tidakkah kau mengerti?

***

Sepi. Sunyi untuk beberapa lama. Tak ada belaian angin yang membawa suaramu. Hanya kicau burung yang saling bersahutan dari kejauhan.

Mataku tak lepas memandangimu, yang juga membeku di tempatmu berada. Kamu kalut, aku tahu. Karena ini bukan keputusan mudah.

Dengan begitu perlahan, kamu memangkas jarak di antara kita hingga hampir tak berbatas, namun tetap tak dapat bersentuhan. Sedekat ini, bukan hangat yang terasa. Tapi dingin. Yang begitu mengandung beribu makna, dan terasa begitu menusuk.

Seperti tatapan matamu yang sendu tepat di manikku. Sungguh membuatku menggigil.

Dan semakin menggigil ketika senyum perlahan mengembang di wajahmu, yang membuat wujudmu terlihat semakin mengabur. Mengabur, kemudian... menghilang dengan sempurna.

Semilir angin kembali membawa suaramu, yang kali ini bergema langsung di suatu sudut hati.

"Selamat tinggal, Cinta."

***

(Tulisan ini dibuat untuk diikutsertakan dalam #NuLisBarengAlumni #KampusFiksi #KF15 #Ikhlas)

No comments: